Sudah sejak lama petani selalu menjadi korban dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di seluruh dunia, terutama dalam masalah kelaparan. Sejarah mencatat petani kecil adalah yang terdepan dilanggar hak-haknya, terutama terusir dari tanah mereka sendiri. Petani juga dilanggar hak-haknya atas sumber kekayaan alam lain seperti air, bahkan bibit dan benih, serta pengetahuan tradisional yang menjadi budaya luhur dalam masyarakat pertanian. Selama berabad-abad, pelanggaran hak-hak ini dilakukan atas nama penjajahan.
Dalam beberapa dekade terakhir, atas nama liberalisasi perdagangan penjajahan gaya baru diteruskan, dan terus menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Petani (HAP). Dimensi baru penjajahan ini tidak hanya membuat para petani—yang seharusnya kenyang di lumbung pangan—menjadi kelaparan, namun juga tetap digusur, dibunuh, tidak bisa berpendapat bahkan mendirikan organisasi, dikriminalisasi, tidak menerima standar hidup yang layak, bahkan harga yang diterima tidak sesuai dengan jerih payah mengolah lahan. Pelanggaran ini tak hanya dilakukan karena kelalaian negara menjalankan kewajibannya, namun juga dilakukan langsung maupun tak langsung oleh aktor non-negara: organisasi internasional, perusahaan transnasional, bahkan individual.
Deklarasi HAP La Via Campesina
Organisasi gerakan petani internasional, La Via Campesina, telah mengutuk pelanggaran HAP selama lebih dari 10 tahun. Pelanggaran-pelanggaran ini, sesuai dengan perjuangan kaum tani, kebanyakan berkaitan dengan masalah tanah—dan sebagian besar pelanggaran tersebut terkait dengan kerja-kerja nyata reforma agraria oleh anggotanya di berbagai negara. Dalam forum internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pelanggaran ini telah dilaporkan dalam bentuk Laporan Tahunan Pelanggaran HAP—bekerja sama dengan Centre Europe-Tiers Monde (CETIM) dan Foodfirst International Action Network (FIAN).
Sebagai jawaban konkret dan alternatif dari kaum tani, La Via Campesina membuat sebuah proses untuk pengakuan, promosi dan perlindungan HAP. Proses ini berjalan sejak tahun 2000, dimulai dengan pertemuan dan diskusi di Indonesia oleh Serikat Petani Indonesia (SPI). Pada tahun 2008, setelah konsultasi internal yang berlangsung selama tujuh tahun, La Via Campesina mengadopsi Deklarasi HAP pada sebuah Konferensi Internasional bertema serupa. Teks deklarasi ini akhirnya disahkan oleh pemimpin La Via Campesina di Seoul pada bulan Maret 2009.
Deklarasi HAP yang diinisiasi La Via Campesina mengikuti struktur Deklarasi PBB tentang Masyarakat Adat. Deklarasi ini dimulai dengan preambule penting yang mengingatkan kita bahwa banyak keluarga petani di seluruh dunia yang telah berjuang sepanjang sejarah untuk pengakuan HAP. Deklarasi ini diakhiri dengan harapan bahwa inisiasi ini dapat menjadi sebuah langkah penting ke depan untuk pengakuan, promosi, dan perlindungan HAP.
Dalam Deklarasi HAP, tidak hanya hak-hak sipil dan politik yang ditekankan, namun juga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya—seperti diwakili pada pasal-pasal yang berkaitan dengan hak atas kehidupan dan standar hidup yang layak (Pasal III), hak atas tanah dan teritori (Pasal IV), hak untuk benih (Pasal V), hak atas permodalan (Pasal VI), hak atas informasi dan teknologi pertanian (Pasal VII), kebebasan menentukan harga dan pasar untuk produk pertanian (Pasal VIII), hak atas perlindungan nilai-nilai pertanian (Pasal IX), hak atas keanekaragaman hayati (Pasal X), hak atas pelestarian lingkungan (Pasal XI) dan kebebasan berkumpul, beropini dan berekspresi (Pasal XII). Tanpa dipenuhinya hak-hak ini, para petani dari seluruh dunia—yang jumlahnya lebih dari separuh populasi dunia—merasa tetap ada diskriminasi terhadap hak-hak mendasar mereka. Dalam masalah kelaparan, malnutrisi, pengangguran, serta krisis pangan dunia, pemenuhan hak-hak tersebut adalah krusial sebagai solusi.
Perjuangan internasional
Deklarasi HAP adalah batu pondasi yang kuat untuk memulai langkah pertama pengakuan dan perlindungan hak-hak mendasar petani. Dalam hal ini, perjuangan diarahkan pada hukum dan mekanisme HAM internasional dalam PBB. Kita telah secara lantang menyatakan bahwa sebuah Konvensi Internasional HAP (yang mengikat secara hukum dan kuat secara dari sudut pandang hukum internasional) sangat diperlukan, karena pelanggaran hak yang telah terjadi berabad-abad dan kebijakan neoliberalisme yang memperburuk pelanggaran hak-hak mendasar petani tersebut.
PBB sendiri cukup responsif memahami tuntutan La Via Campesina ini. Setelah Deklarasi HAP diumumkan kepada dunia pada tahun 2008-2009, Sesi ke-4 Komite Penasihat untuk Dewan HAM PBB mengadopsi sebuah laporan pada bulan Januari 2010. Laporan tersebut berjudul « Studi Awal mengenai Diskriminasi dalam Konteks Hak atas Pangan » (Dokumen A/HRC/13/32). Studi ini menyatakan bahwa petani adalah salah satu kelompok yang terdiskriminasi dalam masalah penegakan hak atas pangan—terutama dalam konteks kelaparan dan malnutrisi. Secara progresif studi ini juga menyatakan bahwa HAP adalah bentuk perjuangan konkret dan bisa menjadi praktek yang baik (good practices) dalam mengatasi diskriminasi tersebut. Dalam lampiran studinya, Komite Penasihat untuk Dewan HAM PBB melampirkan Deklarasi HAP La Via Campesina.
Pada bulan Maret 2010 Komite Penasihat untuk Dewan HAM PBB melaporkan studi ini di depan Sesi ke-13 Dewan HAM PBB. Dalam kerangka ini, negara-negara anggota Dewan HAM PBB akhirnya membuat sebuah draft resolusi tentang hak atas pangan, yang dinisiasi oleh Kuba (dan didukung oleh hampir seluruh negara-negara Selatan). Dalam draft resolusi ini, dicantumkan upaya lebih lanjut untuk pengakuan dan perlindungan HAP—dalam hal ini bagi Komite Penasihat untuk Dewan HAM PBB untuk melanjutkan bekerja untuk mempelajari HAP, terutama perempuan dan orang yang tinggal di daerah pedesaan, termasuk mereka yang berhubungan dengan nelayan tradisional, penggembalaan dan perburuan.
Pada akhir sesi ke-13 Dewan HAM PBB, resolusi tentang hak atas pangan telah dikeluarkan (Dokumen A/HRC/13/L.17). Walaupun tidak secara eksplisit menyatakan HAP seperti draftnya, namun tetap bisa digunakan sebagai basis terhadap perjuangan internasional kaum tani dalam mempromosikan dan menegakkan hak-hak mendasarnya—karena substansinya yang kurang lebih sama. Kata-kata dalam resolusi Dewan HAM PBB tersebut terjemahannya sebagai berikut:
“44. Meminta kepada Komite Penasihat untuk Dewan HAM PBB untuk meneruskan bekerja pada isu diskriminasi dalam konteks hak atas pangan dan, berkaitan dengan hal tersebut, untuk mengerjakan sebuah studi awal mengenai cara dan sarana untuk terus memajukan hak-hak orang yang bekerja di daerah pedesaan, termasuk perempuan, khususnya produsen kecil yang berhubungan dengan produksi pangan dan/atau produk pertanian lain, termasuk yang secara langsung bekerja di atas tanah pertanian, nelayan tradisional, aktivitas perburuan dan penggembalaan, dan untuk melaporkan pada Dewan HAM PBB pada sesi ke-16.”
Resolusi ini menunjukkan bahwa setidaknya ide mendasar untuk HAP telah disetujui banyak negara—walaupun pada awalnya ditentang terutama oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa (sementara negara-negara lain sudah mendukung). Saat ini proses akan bergantung pada La Via Campesina, anggotanya dan kaum tani di seluruh dunia untuk:
(1) Memastikan studi lebih lanjut yang akan dilakukan Komite Penasihat untuk Dewan HAM PBB (seperti yang dimandatkan pada paragraf 44 resolusi di atas) kembali menekankan pentingnya pengakuan dan perlindungan HAP;
(2) Memperkuat basis argumen pentingnya HAP diakui di dalam mekanisme HAM internasional—baik definisi pemegang hak maupun argumen praktis, legal dan akademik;
(3) Bagaimana HAP (berdasarkan Deklarasi HAP, dokumentasi dan hasil studi selama ini) secara riil dapat menjadi praktek yang baik (good practice) dalam mengatasi masalah diskriminasi dalam konteks hak atas pangan. Hal ini harus kita tes di lapangan dalam praktek nasional dan lokal.
Perjuangan nasional dan lokal
Kita bisa bersyukur bahwa Indonesia termasuk negara yang mendukung (bahkan menjadi co-sponsor dalam resolusi A/HRC/13/L.17). Hal ini menunjukkan tidak ada resistensi yang berarti dalam pengakuan dan perlindungan HAP dan bisa kita aplikasikan di level nasional.
Jika demikian, dalam ranah nasional terbuka untuk mewujudkan hal-hal riil sebagai berikut:
(1) Meneruskan upaya menegakkan hak-hak mendasar petani, terutama terkait masalah tanah dan produksi pangan—upaya-upaya yang termaktub dalam GBHO (program nasional perjuangan agraria berhasil menguasai 200,000 hektar tanah, membangun koperasi atau badan usaha milik organisasi setidaknya satu pada masing-masing DPW dan DPC, mengembangkan sistem pangan lokal);
(2) Upaya legal reform di tingkat nasional dan lokal; (a) Mengusulkan UU baru dalam legislasi nasional—seperti UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014; (b) Mengkritisi dan berupaya menghapuskan UU yang ada, yang diskriminatif dan melanggar HAP—terutama tidak sesuai konstitusi RI (judicial review UU Perkebunan, amandemen UU Pangan, amandemen UU HAM); (c) Melakukan upaya perubahan kebijakan di tingkat kabupaten dan propinsi—yang lebih dekat dan lebih mungkin dengan massa SPI;
(3) Terus menekan pemerintah dalam perubahan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan poin (1) dan (2) dengan aksi-aksi massa—hal ini penting terus dilakukan karena HAP alaminya adalah sebagai keinginan publik kaum tani (public demand, usulan yang berasal dari akar-rumput);
(4) Kerja-kerja konsisten yang selama ini dilakukan; monitoring, aksi cepat responsif dan pendidikan-pendidikan mulai dari level basis hingga pusat;
(5) Dokumentasi dan pelaporan pelanggaran dan pemajuan HAP di tingkat nasional;
Mohammed Ikhwan,
Ketua Departemen Luar Negeri, Serikat Petani Indonesia (SPI)