JAKARTA. Setiap tahunnya pada tanggal 16 Oktober, rakyat di seluruh penjuru dunia memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS). Dalam peringatan HPS tahun ini, Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) memperingatinya dengan menggelar diskusi bersama media massa, organisasi masyarakat, LSM dan mahasiswa di sekretariat DPP SPI di Jakarta, kemarin (16/10). Diskusi tersebut bertemakan “Hari Pangan 2017: Kedaulatan Pangan VS Perdagangan Bebas”.
Dalam diskusi ini, Ketua Umum SPI Henry Saragih memaparkan, saat ini, dunia masih belum mampu mengatasi krisis pangan yang menjadi permasalahan sejak lama. Menurut laporan FAO (Organisasi Pangan Dunia), jumlah masyarakat kelaparan dunia kembali meningkat dari 777 juta pada tahun 2015 menjadi 815 juta pada tahun 2016. Sementara data terkini berdasarkan laporan dari Global Hunger Index (GHI) tahun 2017: The Inequalities of Hunger, yang juga salah satu sumber datanya dari FAO, menunjukkan skor indeks kelaparan Indonesia sebesar 22 dan berada pada skala serius. Lebih jauh GHI memberi laporan pada tahun 2008 indeks kepelikan kelaparan Indonesia menunjukkan angka 28.3. Demikian selama kurun waktu 2008-2016, Indonesia masih tetap berada di level serius.
Henry melanjutkan, di tengah permasalahan kelaparan di atas, penyelesaian krisis pangan global malah lebih mengutamakan kepentingan korporasi-korporasi pangan-pertanian multinasional/transnasional yang tentunya hanya memikirkan keuntungan bisnis semata,. Mereka beraksi melalui berbagai perangkat perjanjian perdagangan bebas baik di tingkat multilateral seperti World Trade Organization (WTO, organisasi perdagangan dunia), berbagai Free Trade Agreement FTA, perjanjian perdagangan bebas) di tingkat Regional, seperti ASEAN FTA, ASEAN-China FTA, FTA antara ASEAN dengan 6 negara (Australia, New Zeland, China, Jepang, Korea dan India) dan yang sedang berproses adalah Regional Comprehensive Economic Patnership (RCEP), Indonesia European Union – Comprehensive Economic Patnership Agreement (IEU-CEPA), serta beberapa FTA bilateral antara Indonesia dengan negara tertentu, seperti Jepang, Chili, Tunisia dan Turki.
“Sayangnya semua perjanjian itu sejatinya bertolak belakang dengan kedaulatan pangan dan melemahkan peran-peran sentral petani sebagai penyedia pangan bagi penduduk di seluruh dunia. Bahkan perjanjian perdagangan bebas itu bisa dikatakan sebagai bentuk penjajahan gaya baru (neokolonialisme dan Imperialisme),” tegas Henry yang menjadi salah seorang narasumber dalam diskusi ini.
Hal senada disampaikan Zainal Arifin Fuad, anggota Komite Koordinator Internasional La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) yang juga turut menjadi narasumber dalam diskusi. Ia menyampaikan, La Via Campesina menjadikan peringatan Hari Pangan Sedunia 2017 sebagai hari perlawanan terhadap korporasi pangan. Hal ini karena perjanjian perdagangan internasional memaksa negara-negara berkembang harus melakukan impor pangan, benih, pupuk, hingga mesin pertanian yang tidak lain diproduksi dan didistribusikan di bawah kendali korporasi.
“Kondisi inilah yang harus dilawan oleh rakyat untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kedaulatan bangsa,” tegasnya.
Zainal melanjutkan, fakta menunjukkan bahwa negara-negara berkembang terikat dengan perjanjian perdagangan internasional seperti WTO. Akibatnya mereka terpaksa melakukan impor pangan, benih, pupuk, mesin pertanian dari korporasi bukan karena pertimbangan kebutuhan dalam negeri tetapi karena kewajiban, bahkan impor sudah menjelma menjadi ideologi.
“Saat ini negara kita Indonesia menjadi salah satu sasaran utama korporasi pangan-pertanian global dengan memanfaatkan perdagangan bebas. Oleh karena itu dalam pertemuan tertinggi WTO yang dilaksanakan pada tanggal 9-13 Desember 2017 di Argentina, Indonesia harus mengambil sikap tegas untuk keluar dari WTO karena membahayakan nasib petani,” ungkapnya.
Zainal menerangkan, saat ini Asia terutama Indonesia menjadi sasaran korporasi pangan-pertanian global karena memiliki jumlah penduduk yang banyak dan kaya akan sumber daya agraria. Negara-negara Industri bersama korporasi pangan-pertanian global memanfaatkan perdagangan bebas untuk memasarkan dan memonopoli pangan di Indonesia. Sebagai akibatnya kaum petani dan masyarakat pedesaan menjadi semakin termiskinkan. Oleh karena itu hal yang wajar, pertanian akan semakin diisi oleh petani-petani tua, sementara para pemudanya keluar dari pedesaan untuk mengadu nasib di perkotaan dan di luarnegeri.
Kedaulatan Pangan di Level Nasional
Sementara itu di level nasional, Henry Saragih menyampaikan pemerintahan Jokowi-JK belum mampu menyelesaikan persoalan pangan dan kesejahteraan petani. Cita-cita kedaulatan pangan sebagaimana janjinya dalam Nawacita sampai saat ini belum terwujud. Hal ini dibuktikan dengan beberapa hal, diantaranya yaitu sampai sekarang reforma agraria belum terlaksana, sebaliknya yang dilakukan pemerintah hanya sertifikasi tanah; impor pangan masih tinggi seperti impor gandum, sapi; penggunaa dana oleh Kementerian Pertanian belum maksimal dan tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani; penggunaan pestisida dan pupuk kimia, dan sebaliknya menempatkan korporasi sebagai pihak yang berperan dalam menjalankan kedaulatan pangan.
“Ini sungguh sangat bertentangan dengan prinsip kedaulatan pangan yang menempatkan petani sebagai subyeknya,” kata Henry.
Henry menambahkan, pemerintah Indonesia saat ini dalam melaksanakan Nawacita menghadapi dua tantangan yaitu kebijakan eksternal dan internal. Pihak eksternal dihadang oleh keputusan-keputusan WTO, bahkan OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) jelas-jelas menentang kedaulatan pangan di Indonesia. Pertemuan WTO di Argentina sangat menentukan nasib petani di Indonesia. Dalam perundingan WTO bulan Desember nanti, menteri pertanian dan menteri perdagangan jangan sampai diam dan ikut mendukung kejahatan-kejahatan korporasi, untuk itu sebaiknya menteri perdagangan dan pertanian sebelum berangkat ke Argentina harus menyampaikan ke publik dan DPR terkait agenda yang akan dilakukan pada pertemuan tersebut.
“Di hari pangan ini kita tekankan kepada presiden untuk serius menjalankan kedaulatan pangan melalui reforma agraria, ini harus segera dilaksanakan; distribusikan lahan 9.2 juta hektar sebagaimana yang dijanjikan oleh presiden sebagai program reforma agraria – terkhusus untuk lahan pangan berkelanjutan sesuai dengan UU No.41/2009 – dan diperuntukkan juga untuk pemuda-pemudi petani sebagai generasi penerus pertanian,” papar Henry.
Henry melanjutkan, dalam momen HPS tahun ini SPI juga menegaskan bahwa distribusi lahan adalah salah satu jalan untuk mencapai kedaulatan pangan di tingkat keluarga petani hingga nasional – dan bukan untuk lumbung pangan dunia terlebih bila akan merusak kedaulatan pangan di negara lain.
“Kedaulatan Pangan dicapai dengan menggerakkan petani dan koperasi – melalui agroekologi dan benih-benih lokal petani, dan sebaliknya bukan melalui korporasi, pertanian kimia dan benih-benih hasil rekayasa genetika. Indonesia masih kaya dengan sumber daya genetik pangan,” tuturnya.
“Konsep kedaulatan pangan tidak merekomendasikan perdagangan bebas ( WTO, FTA, MEA, EPA, CEPA, TPP, RCEP) – sebaliknya merekomendasikan adanya Lembaga Pangan – sesuai UU Pangan 2012 – yang mampu menjaga stabilitas harga pangan dan menutup peluang mafia-mafia pangan untuk mengontrol pasar,” sambungnya.
Henry menambahkan, pertanian Indonesia harus dikelola oleh petani dan koperasi-koperasi petani, jangan sampai terjadi monopoli perusahaan. Pemerintah harus melakukan sistem pertanian ekologis; mendukung dan memperkuat organisasi tani melalui koperasi petani; dan negara harus memberikan perlindungan kepada petani.
“Segera Implementasikan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani no.19/2013 (pasca judicial review) terkait dengan dampak perdagangan bebas dan praktek-praktek mafia pangan yang merugikan petani dan masyarakat,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Zainal Arifin Fuad – Komite Koordinator Internasional La Via Campesina – 0812 8932 1398