Kebijakan Pemerintah Indonesia baru-baru ini tidak berpihak pada peternak dan menyebabkan harga susu tidak terjangkau oleh masyarakat bawah. Kebijakan tentang susu tersebut hanya ditujukan untuk kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional.
Saat ini jumlah koperasi susu perah di Indonesia mencapai 340.000 unit dan 120.000 peternak yang rata-rata memiliki tiga hingga empat ekor sapi, sedangkan produksi susu nasional hanya memenuhi permintaan domestik 25% dari jumlah konsumsi sekitar 700.000 ton per tahun, sisanya dipenuhi dari impor. Sedangkan jumlah sapi perah di Indonesia hanya 350.000-400.000 ekor, dengan rata-rata kepemilikan tiga ekor per peternak. Padahal, agar peternak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, harus punya setidaknya 8 ekor sapi.
Selama ini dari rata-rata 10 liter susu yang dihasilkan peternak per hari, harga beli berkisar Rp1.650-Rp 2.800 per liter. Bergantung pada kualitas susu yang dihasilkan. Kalau koperasi bisa membeli dengan harga di atas Rp 3.100 per liter, peternak bisa sedikit bernapas karena tiap hari untuk pengadaan pakan ternak, biaya yang dikeluarkan Rp15.000/ekor/ hari.
Ketidakberpihakan pemerintah kepada peternak juga terlihat dari tidak pernah adanya subsidi untuk peternak sapi. Pemerintah juga terlalu rendah menetapkan harga susu di tingkat peternak, yakni kurang dari Rp 3.000 per liternya, padahal biaya produksinya saja mencapai Rp 2.500-Rp 3.000 per liter.
Pada akhir Mei 2009, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 101/PMK.001/2009 tentang Tarif Bea Masuk sebesar lima persen terhadap impor tujuh produk susu tertentu yang terdiri dari 6 produk “Full Cream Milk Powder” (FCMP) dan 1 produk susu mentega. Kebijakan itu mengubah kebijakan sebelumnya, yaitu PMK Nomor: 19/PMK.011/2009 pada 13 Februari 2009 yang tidak dikenai biaya atau 0%. Peraturan Menkeu yang sebelumnya, sesuai dengan peraturan World Trade Organitation (WTO) yaitu bea masuk susu impor akan menjadi nol persen pada tahun 2017. Meskipun demikian, kenaikan tarif menjadi lima persen tersebut tidak serta merta memperbaiki taraf hidup peternak sapi.
Sebelumnya Indonesia mempunyai kebijakan untuk melindungi peternak susu dalam negeri lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan dan Koperasi pada tahun 1983. Saat itu, Industri Pengolahan Susu (IPS) diwajibkan untuk membeli susu dari peternak lokal disamping susu impor sebagai bahan baku Industrinya. Di sisi lain, penerapan SKB ini menimbulkan ketergantungan peternak kepada IPS-IPS. Petani tidak punya hak untuk menentukan harga. Yang berhak menentukan harga dan kuota susu dari peternak hanya IPS.
Ketergantungan yang merugikan itu terus berlanjut hingga hari ini. Sekitar 90 persen susu segar peternak diserap oleh IPS, yang hanya terdiri dari lima perusahaan besar. Kelima perusahaan itu adalah PT Nestle, PT Frisian Flag, PT Ultra Jaya, PT Sari Husada, dan PT Indomilk-Indo-lacto.
Karena ketergantungan terhadap IPS, para peternak tidak pernah mendapatkan harga yang sesuai untuk produk susunya. Nasib peternak tetap berada di tangan perusahaan-perusahaan asing dan dipermainkan oleh mekanisme pasar global. Misalnya, dalam 6 bulan sejak akhir Desember 2008, Nestle telah dua kali menurunkan harga beli susu dari peternak.
Penurunan pertama terjadi pada Desember 2008. Sebelumnya, harga pembelian dari peternak Rp 3.900 per liter menjadi Rp 3.700 per liter dan penurunan tahap kedua dberlakukan dari harga Rp 3.700 per liter menjadi Rp 3.400 per liter. Meski peternak dan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) selaku agen menentang keras, Nestle tetap menurunkan harga beli susu. Dalihnya, harga susu impor turun. Langkah Nestle ini diikuti perusahaan pengolahan susu lain. Fakta dilapangan, harga susu yang dijual ke konsumen sama sekali tidak mengalami penurunan. Jika begitu, sangat jelas pihak mana yang diuntungkan. Petani peternak tidak pernah menerima harga yang layak dan konsumen berpenghasilan rendah tetap tidak mampu membeli susu.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketergantungan tersebut dengan cara meningkatkan konsumsi susu segar konsumen. Jika tingkat konsumsi susu segar masyarakat meningkat, hal ini secara langsung juga membantu petani peternak agar mampu menjual produk susunya dengan harga yang layak.
Konsumsi susu segar masyarakat Indonesia hanya 50 cc dari rata-rata konsumsi susu 7 liter-10 liter per orang per tahun. Statistik Peternakan 2007 menunjukkan tingkat konsumsi susu penduduk Indonesia sebesar 10,47 kg/kapita/tahun. Dari tingkat konsumsi itu, ternyata konsumsi susu cair dalam bentuk ultra high temperature (UHT) 4,6% (118.500 ton), susu steril 2,7% (69.000 ton), susu pasteurisasi 1,2% (30.000 ton), dan dalam bentuk bubuk (42,3%). Padahal, susu dalam bentuk bubuk harganya lebih mahal dan hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar. Untuk meningkatkan jumlah konsumsi susu segar masyarakat, bisa mulai dilakukan secara mandiri oleh koperasi-koperasi susu perah di Indonesia.