Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (RI) Soekarno Nomor 169 Tahun 1963, tanggal 24 September ditetapkan sebagai peringatan Hari Tani. Dipilihnya tanggal 24 September bertepatan dengan tanggal dimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) disahkan. UUPA 1960 merupakan spirit dan menjadi dasar dalam upaya perombak struktur agraria Indonesia yang timpang dan sarat akan kepentingan sebagian golongan akibat warisan kolonialisme di masa lalu.
Enam dasawarsa berlalu sejak disahkannya UUPA 1960, kini reforma agraria di Indonesia tengah memasuki tantangan baru. Memasuki periode kedua pemerintahannya, komitmen Presiden Joko Widodo terkait reforma agraria masih ditunggu. Pada periode pertama pemerintahannya, bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla tahun 2014-2019, Presiden Joko Widodo memasukkan reforma agraria dan kedaulatan pangan sebagai program prioritas dalam Nawa Cita (sembilan program prioritas).
Program reforma agraria dan kedaulatan pangan kembali dilanjutkan Presiden Joko Widodo pada periode kedua pemerintahannya, bersama Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin, tahun 2019-2024. Kedua hal tersebut termasuk di dalam Visi Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong sebagai visi pembangunan Indonesia ke depannya.
Secara garis besar, program reforma agraria di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo menargetkan teredistribusinya tanah seluas 9 juta hektar melalui skema Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Langkah-langkah untuk mempercepat implementasi reforma agraria telah diambil, seperti Peraturan Presiden (Perpres) nomor 88/2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan dan Perpres nomor 86/2018 tentang reforma agraria. Hanya saja, realisasi dari kedua peraturan ini belum sesuai dengan harapan. Program reforma agraria di Indonesia sendiri belum menunjukkan keberhasilan dalam konteks merombak ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari implementasi reforma agraria, dimana Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI (ATR/BPN) sebagai kementerian pelaksana program, yang mayoritasnya berupa sertifikasi tanah dan legalisasi aset. Sementara itu, upaya penyelesaian konflik-konflik agraria maupun redistribusi tanah bagi petani dan orang-orang yang membutuhkan tanah, yang menjadi esensi pelaksanaan reforma agraria, masih belum menjadi prioritas.
Lambatnya implementasi reforma agraria dan belum dijalankannya reforma agraria sejati di Indonesia berdampak pada konflik-konflik agraria di Indonesia, baik itu konflik lama maupun konflik yang baru muncul. Praktik-praktik penggusuran, diskriminasi hukum, kriminalisasi dan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak asasi petani lainnya masih menimpa para petani sampai dengan masyarakat adat. Pada tahun 2020 ini, salah satu pada contohnya adalah dialami oleh Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Tebo Provinsi Jambi, Junawal, yang saat ini ditahan karena memperjuangkan reforma agraria dengan berupaya mempertahankan tanah pertaniannya.
Lambatnya implementasi reforma agraria juga berimplikasi langsung terhadap implementasi kedaulatan pangan di Indonesia. Tidak adanya jaminan bagi petani atas tanah yang dikuasainya, alih fungsi lahan pertanian, sampai dengan konflik-konflik agraria, membuat petani di Indonesia jauh dari kemampuan untuk memproduksi pangan baik untuk keluarganya dan masyarakat luas.
Pandemi covid-19 yang terjadi saat ini juga semakin membuat situasi menjadi kompleks. FAO dalam laporannya menyebutkan bahwa selain krisis Kesehatan, pandemi Covid-19 membuat ancaman krisis pangan global semakin nyata. Dalam konteks Indonesia, pandemi Covid-19 telah mengakibatkan perekonomian mengalami krisis dan diambang resesi, dan bisa menjadi depresi. Hal ini mengakibatkan PHK yang terjadi secara besar-besaran, hilangnya mata pencaharian orang desa yang bekerja diperkotaan baik di dalam negeri dan luar negeri, yang tentu mengakibatkan beban kehidupan di pedesaan semakin sulit, dan memukul kehidupan petani sebagai produsen pangan.
https://www.instagram.com/p/B_Eg8_elzvA/
Sayangnya di tengah situasi tersebut, pemerintah justru sibuk tetap mengedepankan konsep ketahanan pangan dan food estate sebagai upaya untuk mengatasi ancaman krisis pangan. Hal ini menjadi suatu ironi mengingat konsep ketahanan pangan dan food estate sudah terbukti gagal dalam mengatasi krisis pangan global tahun 2008 dan justru menyengsarakan petani.
Pemerintah seharusnya konsisten dengan komitmen mereka mengenai nawa cita dan visi Indonesia maju di pemerintahan saat ini, dimana pelaksanaan reforma agraria, yang menjamin hak atas tanah bagi petani, dan kedaulatan pangan, yang mengedepankan pangan diproduksi oleh keluarga petani skala kecil, menjadi pedoman utama kebijakan agraria dan pertanian di Indonesia.
Di tengah situasi pelaksanaan reforma agraria dan kedaulatan pangan tersebut, petani, nelayan, dan masyarakat adat di Indonesia juga dihadapkan oleh ancaman dari Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja. RUU yang saat ini tengah dalam pembahasan di DPR-RI sangat berpotensi mengancam pelaksanaan reforma agraria dan kedaulatan pangan di Indonesia.
Terkait reforma agraria, Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) justru memuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan UUPA 1960, seperti penambahan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 90 tahun, pembentukan ‘Bank Tanah’, dan pasal-pasal lainnya. Sementara terkait kedaulatan pangan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja semakin berupaya meliberalisasi sector pangan, yakni dengan mengadopsi kebijakan pasar bebas yang didorong oleh WTO. Indikasi ini dapat dilihat dari pasal-pasal tentang penghapusan ketentuan impor pangan dan aktor produksi pangan di dalam Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang selama ini digugat oleh WTO karena memproteksi petani di Indonesia. SPI sendiri pada tanggal 20 April 2020 lalu, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Petani Indonesia, telah menyatakan sikap untuk menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan dan mendesak agar pembahasan segera dihentikan.
Berkaca pada situasi dan kondisi di atas, dalam rangka Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) tahun 2020 ini SPI mengusung tema “Meneguhkan Reforma Agraria untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan”. Tema ini diambil mengingat upaya untuk terus meneguhkan dan menjaga agar reforma agraria sejati tercipta, harus dilakukan oleh SPI ditengah lambatnya implementasi reforma agraria saat ini. SPI telah mendorong terciptanya beberapa peraturan-peraturan seperti Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dimana negara menjamin dan melindungi hak-hak petani atas jaminan luasan lahan pertanian, perlindungan terhadap harga dan proteksi dari impor pangan. Tentunya diperlukan komitmen dari pemerintah untuk menaati dan menjalankan peraturan-peraturan yang sudah ada tersebut.
SPI juga mendorong munculnya kampung-kampung reforma agraria, dimana kekuatan massa petani sebagai motor penggerak utama dalam meredistribusi tanah dan membangun kehidupan secara kolektif. Kampung-kampung reforma agraria merupakan wujud dari pelaksanaan reforma agraria sejati, karena selain menjawab persoalan ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia, kampung reforma agraria SPI juga menjadi fondasi penting bagi pelaksanaan kedaulatan pangan di Indonesia.
Tidak hanya itu, upaya menggelorakan reforma agraria juga dilakukan SPI di tingkat internasional. Keberhasilan SPI dalam mendorong lahirnya Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di Perdesaan (UNDROP) pada tahun 2018 lalu, menjadi tonggak penting upaya pengakuan atas hak-hak petani dan masyarakat perdesaan di dunia.
Hasil Voting
Pasal-pasal di dalam deklarasi tersebut saat ini menjadi norma internasional, yang menguatkan setiap perjuangan petani dalam menuntut hak-haknya, mulai dari hak atas tanah, air, benih, sumber-sumber agraria dan lainnya.
Terakhir, rangkaian kegiatan SPI dalam memperingati HTN 2020, baik itu di secara nasional maupun di wilayah dan basis-basis SPI, akan dilakukan sepanjang bulan September 2020. Kegiatan ini akan dilakukan dalam berbagai bentuk: diskusi publik, aksi/demonstrasi langsung, maupun kampanye di media sosial.
Untuk itu, SPI akan menyelenggarakan rangkaian kegiatan Hari Tani Nasional, dimulai pada 17 September dan diakhiri pada 30 September 2020.
Berikut detilnya:
Artikel terkait Hari Tani Nasional lainnya bisa diklik di sini.
Untuk Wilayah Sulawesi Selatan, apakah sudah terbentuk SPI, khususnya Kab. Sidrap dan Kota Parepare?
Belum
Untuk wilayah Provinsi Aceh sudah terbentuk SPI..!!
Sudah