JAKARTA. Indonesia semakin tidak berdaulat atas pangannya. Pemerintah Indonesia pun semakin tidak berdaya membendung kekuatan korporasi dan kepentingan asing yang semakin “menggila”, mencengkeramkan cakarnya ke dalam kedaulatan pangan bangsa Indonesia. Rakyat lapar dan miskin semakin banyak. Krisis pangan pun semakin memburuk.
Setidaknya hal di atas yang menjadi salah satu pokok pikiran dari pidato politik Henry Saragih – Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) – dalam acara Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia, di Taman Menteng, Jakarta, malam ini (24/02).
Henry menegaskan bahwa krisis harga pangan yang terjadi sekarang ini, sebagai akibat dari diterapkannya sistem neoliberilisme. Melalui World Trade Organizations dan Free Trade Agreement. Akibatnya pertanian terkonsentrasi pada pertanian eksport, dan monokultur. Dewasa ini makanan tidak lagi sejatinya untuk makanan manusia, tetapi makanan telah diutamakan sebagai bahan industri agrofuel, dan keperluan perusahaan peternakan. Makanan juga menjadi bahan spekulasi perdagangan.
Sementara itu, saat ini terus terjadi perampasan tanah-tanah rakyat dan penguasaan tanah-tanah negara oleh korporasi-korporasi besar. Hal ini membuat para petani dan masyarakat adat asli tergusur. Bukan hanya itu, penggusuran ini juga diikuti dengan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat.
Henry menekankan bahwa pemerintah Indonesia saat ini telah salah arah dalam mengambil kebijakan pembangunan pertanian dan pangan di Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah tidak sanggup lagi menjaga kedaulatan pangan rakyat Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menyerahkan kebijakan pangan Indonesia pada perangkap perdagangan bebas pangan dunia, ke tangan para spekulan pangan dunia, mendorong pemenuhan pangan Indonesia dari hasil impor.
“Pemerintah Indonesia telah membiarkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bukan untuk memenuhi dan melindungi kebutuhan pangan rakyat Indonesia, tetapi sebaliknya untuk kepentingan perusahaan-perusahaan besar. Semua ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah abai terhadap konstitusi Indonesia, terutama pada pasal 33 UUD 1945, dan juga pasal 27 ayat 2, 31, dan 34,” tegasnya.
“Indonesia terus menerus menjalankan kebijakan salah arah ini. Melakukan liberalisasi pertanian dan pangan, menyerahkan perdagangannnya kepada mekanisme pasar serta menempatkan dan mendahulukan kepentingan korporasi-korporasi agribisnis besar. Hal itu terbukti dimana pemerintah hanya memainkan instrumen pembebasan bea masuk serta mempercepat beroperasinya food estate dan mendorong pengembangan kawasan-kawasan food estate yang lain, untuk memenuhi ketersediaan pangan nasional, ” papar Henry.
SPI sebenarnya telah menyebutkan bahwa kedaulatan pangan merupakan jalan keluar krisis pangan. Pertanian berkelanjutan berbasiskan keluarga kecil telah terbukti mampu memberi makan masyarakat dunia.
Dalam acara yang dihadiri oleh para pemimpin gerakan sosial di Indonesia ini, Henry menegaskan bahwa petisi ini bisa menjadi titik awal untuk revolusi kebijakan pangan di Indonesia yang benar-benar berpihak kepada rakyat.
“Petisi ini akan kita sebarkan ke seluruh wilayah Indonesia untuk kemudian diberikan kepada pemerintahan, mulai dari yang terkecil hingga pemerintahan pusat. Selain itu petisi ini tidak hanya berhenti sampai disitu, SPI bersama gerakan rakyat lainnya juga akan mengerahkan massa untuk menuntut pemerintah mempertahankan kedaulatan pangan rakyat Indonesia yang hingga saat ini sudah direnggut oleh korporasi dan kepentingan asing,” tegas Henry.
Untuk ikut menandatangai petisi ini via internet, bisa diklik disini