JAKARTA. Pemerintah baru saja merilis Peraturan Presiden (Perpres) No. 53/2014 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yang membuat industri perbenihan pangan dan hortikultura satu langkah lebih dekat dalam memasarkan benih GMO (genetically modified organism-organisme rekayasa genetika). Semua bermula saat penyelenggaraan Pekan Nasional Tani dan Nelayan (PENAS) XIV di Malang, Jawa Timur, awal Juni lalu. Pada saat pembukaan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpidato dan menyampaikan bahwa para ahli teknologi, peneliti, dan pakar pangan dan pertanian bertugas serta bertanggung jawab untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pangan. Selanjutnya menyusul Menkoekuin Chaerul Tanjung, yang berbicara tentang perlunya transgenik dan pameran produk GMO oleh perusahan besar benih GMO, pestisida dan herbisida seperti Syngenta, Bayer, Nordox, AHSTI, Nufarm. Penas XIV pun dijadikan jalan masuk perusahaan besar benih untuk mempromosikan GMO kepada para petani peserta PENAS XIV.
Perpres ini seolah-olah menjadi tindak lanjut dari tiga sasaran ketahanan dan kemandirian pangan yang dikemukakan oleh Presiden SBY, yakni peningkatan produksi dan produktivitas pangan, peningkatan pendapatan petani dan ketersediaan pangan yang cukup untuk rakyat Indonesia yang jumlahnya lebih dari 240 juta. Adanya (masih) dunia lain berupa ‘ Hantu Malthus’ – secara singkat diartikan sebagai laju produksi pangan yang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk – membuat para ahli teknologi, para peneliti dan para pakar mengambil ‘jalan pintas’ dengan memanfaatkan teknologi GMO. Sementara Indonesia mempunyai kekayaan agraria yang melimpah berupa lahan pertanian yang subur dan keanekaragaman hayati berupa benih-benih lokal pangan.
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, langkah pemerintah ini hanya mempermudah jalan perusahaan-perusahaan transnasional penyokong PENAS XIV untuk mendominasi pasar benih, daripada meningkatkan pendapatan petani.
“Laju pertumbuhan profit dari usaha benih GMO akan maju lebih pesat dari laju peningkatan pendapatan petani, karena petani masih dihadapkan pada rantai pasok rumit, pemburu rente, pinjaman moda produksi dan impor pangan. Ini berarti SBY memang tidak ingin petani kecil sejahtera, ia hanya ingin berkontribusi terhadap bertambahnyan pundi-pundi kekayaan pihak korporasi,” ungkap Henry di Jakarta siang ini (24/06).
Henry menyampaikan, pemanfaatan benih GMO akan menghilangkan benih lokal dan berikutnya petani-petani penangkar benih. Kelompok petani penangkar selanjutnya akan diganti dengan buruh ekslusif ‘penangkar’ GMO di laboratoriun-laboratorium benih industri korporasi. Dengan demikian hilang satu mata rantai produksi benih dari tangan petani. Dan sistem perbenihan rakyat – yang mendapatkan angin segar dari hasil keputusan MK terhadap judiicial review atas UU Sistem Budidaya Benih menyangkut perbenihan – bakal mengalami kelesuan nantinya bila pasar GMO diizinkan.
Henry juga menyoroti aspek keamanan pangan (food safety). Menurutnya seharusnya pemerintah dalam hal ini Komisi Keamanan hayati Produk Rekayasa Genetika semakin hati-hati dalam pengambilan keputusan tentang keamanan pangan GMO. Prinsip kehati-hatian (precautionary) dalam keamanan pangan harus diutamakan. Terlebih pemerintah sudah mengimplemtasikan Convention on Biological Diversity dan Protokol Cartagena, yang selanjutnya diadopsi dalam UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan juga UU Pangan No.12/2012 terkhusus mengenai label dan iklan, serta PP No.69/1999 yang di dalamnya mengatur pelabelan pada pangan hasil rekayasa genetika. Bila pemerintah SBY mementingkan ketahanan pangan, tentunya aspek keamanan pangan jangan dilupakan. Hal ini menjadi kesalahan besar, karena gegabah mengeluarkan Perpres ini sebagai cikal bakal aturan untuk mengizinkan peredaran benih GMO ini.
Oleh karena itu, Henry melanjutkan, SPI menolak segala upaya Pemerintah untuk mengizinkan penggunaan dan peredaran benih GMO dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan. SPI juga akan mendukung penuh upaya para ahli teknologi pertanian untuk memanfaatkan dan mengembangkan benih lokal dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan
“Kami meminta SBY segera mencabut perpres itu,” desak Henry.
Henry pun menambahkan, SPI mendesak pemerintah untuk menerapkan sistem perbenihan rakyat sebagai implementasi keputusan MK atas hasil judicial review terhadap UU No.12/1992 tentang Usaha Budidaya Tanaman.
“Kami juga dengan tegas meminta SBY di akhir pemerintahannya ini agar tidak lagi mengeluarkan kebijakan pertanian yang tidak pro-petani kecil yang hanya akan menjadi beban bagi pemerintahan baru nantinya,” tambahnya.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668