Hari-hari ini, ketimpangan agraria di Indonesia yang berdampak pada konflik terbuka terus berujung pada represifitas dan kriminalisasi petani. Peristiwa demi peristiwa masih memperlihatkan fenomena pelanggaran hak asasi petani. Sayangnya, kepolisian yang notabene merupakan pelayan masyarakat, justru terlibat aktif dalam beberapa peristiwa tersebut.
Di awal bulan Juni ini saja, sudah tercatat dua kasus. Pertama, pada hari Kamis (4/6) kemarin, terjadi perusakan gubug dan penggusuran lahan petani seluas 198 Ha di basis Serikat Petani Indonesia (SPI) Desa Damak Maliho, Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Deli Serdang-Sumatera Utara, oleh pihak PTPN IV Kebun Adolina dengan melibatkan Samapta Polres Deli Serdang, Samapta Polda Sumatera Utara, dan PAM swakarsa. Hampir 50 gubug yang dibangun petani telah diluluh-lantakkan dan empat petani ditahan. Bahkan, salah seorang petani perempuan mendapat perlakuan kasar dari salah seorang PAM swakarsa yang dibayar PTPN IV Kebun Adolina. Padahal, HGU PTPN IV ini telah berakhir masa gunanya sejak penghujung bulan Desember tahun lalu, dan belum memperoleh ijin perpanjangan dari BPN.
Sejarahnya, para petani Damak Maliho merupakan pewaris dan pemilik lahan yang telah menggarap dan membuka lahan sejak tahun 1960an. Hingga pada tahun 1972 muncul perusahaan perkebunan PT. Sari Tugas yang merampas dan mengambil alih secara paksa lahan milik warga dengan dukungan Kapten Kasmir Ali, penguasa Koramil Butepra pada waktu itu. Pada tahun 1974, PT. Sari Tugas berubah nama menjadi PNP IV Pabatu, kemudian berubah lagi menjadi PNP VI Pabatu, dan hingga sekarang berubah menjadi PTPN IV Kebun Adolina Bah Jambi.
Begitu juga yang terhadap anggota SPI Petani Masyarakat Adat Gendang Herokoe, Kab. Manggarai Nusa Tenggara Timur, yang dituduh merambah hutan atas kepemilikan Hak atas 17 Lingko (Tanah Ulayat). Saat ini 17 Lingko tersebut diklaim menjadi hutan negara bagian RTK 14 hutan Todo. Sedangkan anggota SPI yang juga tu’a adat Gendang Herokoe sejak kemarin (4 Juni 2009) dijadikan tahanan kota.
Sebelumnya, di basis yang berbeda, pada hari Senin (1/6) lalu, terjadi pula kriminalisasi terhadap petani Sumedang Jawa Barat. Saat itu, 11 orang petani Cimarias, Kabupaten Sumedang yang tergabung dalam Organisasi Tani Lokal (OTL) Petandang, yang juga merupakan anggota Serikat Tani Kerakyatan Sumedang (SKTS), ditangkap Kepolisian Resort (Polres) Sumedang terkait dengan sengketa tanah antara petani Cimarias dengan PT. Subur Setiadi Corp.
Penangkapan terhadap 11 orang petani oleh pihak Kepolisian Resort Sumedang ini berdasarkan laporan manajemen PT. Subur Setiadi Corp., dengan tuduhan melakukan tindak pidana perusakan (pasal 170 KUHP) terhadap area perkebunan milik PT. Subur Setiadi Corp. Padahal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa lahan HGU tersebut telah ditelantarkan oleh pemegangnya dan telah menjadi hutan belantara, bahkan sudah dihuni babi hutan dan sering mengganggu serta merusak tanaman-tanaman milik para petani di sekitar perkebunan.
Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, dari sekian banyak kasus konflik agraria, kekerasan-kekerasan yang disertai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut, ciri atau karakter utama yang tampak adalah: rakyat selalu dalam posisi yang kalah dalam kasus-kasus itu. Sebaliknya, posisi negara melalui aparat-aparatnya justru selalu berada di pihak yang berlawanan dengan rakyat, menjadi penjaga dan pelindung dari para pemilik modal. Untuk itu, dapatlah difahami kemudian mengapa pemerintah seolah-olah tidak melakukan upaya untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria dan kekerasan-kerasan itu secara adil bagi kaum tani, nelayan dan masyarakat adat.
Menguatnya kembali represi kepolisian dalam sengketa agraria merupakan pelanggaran serius atas jaminan hak sipil-politik dan Ekosob warga. Keterlibatan polisi dalam sengketa agraria kerap kali terjadi dan merupakan pola lama dalam praktik shock teraphy sekaligus intimidasi bagi gerakan-gerakan rakyat. Pola keterlibatan dimulai dari memediasikan sengketa sambil mendesak petani untuk tidak melawan, sampai dalam tahap represif yakni menangkap dan menahan secara sewenang-wenang para pejuang tani. Dan pada tingkat terburuk, pihak kepolisian bahkan mengerahkan pasukan yang berlebihan untuk mengamankan perusahaan dan memaksa para petani untuk tidak melakukan perlawanan menuntut hak.
Bahkan dari dua contoh kasus di atas, sikap polisi sudah sampai pada tindakan yang benar-benar ngawur. Standar prosedur diabaikan, baik saat panangkapan, penggeledahan dan penahanannya.
Fakta-fakta tersebut jelas mengingkari cita-cita reformasi kepolisian sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, khususnya di pasal 4 yang menyebutkan; “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
Selain itu, tindakan polisi tersebut juga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pearturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasalnya, dalam aturan tersebut juga menekankan disiplin bagi polisi akan pentingnya pemajuan dan penghormatan akan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, kami menuntut KAPOLRI/MABES POLRI untuk segera:
Kami juga menuntut:
Jakarta, 5 Juni 2009
Ecoline Situmorang, SH. (Ketua Komite Eksekutif Indonesian Human Rights Committe for Social Justice IHCS)
Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesia/ SPI)
Bagus (Sekjend Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia/ LS-ADI)