JAKARTA. Sejak awal tahun 2016, petani kentang lokal kembali diresahkan dengan beredarnya kentang segar impor di pasar-pasar tradisional yang harganya lebih rendah dibandingkan dengan harga kentang lokal.
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, sepanjang Januari hingga September 2016, volume impor kentang mencapai angka 65.195,11 ton. Henry mengemukakan, argumentasi pembenaran dari pemerintah terkait kebijakan impor tersebut adalah bawa impor hanya dilakukan untuk keperluan industri dan tidak akan dilepas di pasar tradisional untuk konsumsi rumah tangga.
“Pada April 2016, Ditjen Hortikultura Kementan menyatakan bahwa impor kentang bukanlah kentang mentah, melainkan kentang yang sudah berbentuk olahan. Pernyataan tersebut merupakan pembohongan publik, pada faktanya banyak kentang impor beredar di pasar tradisional dalam bentuk kentang segar. Pernyataan tersebut juga bertentangan dengan data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik, yang menunjukkan adanya impor kentang segar (Kode HS-0701900000) sebesar 18.674 ton sepanjang Januari hingga September 2016,” papar Henry di Jakarta hari ini (07/11).
Henry menekankan, sampai hari ini tidak ada data yang jelas mengenai konsumsi kentang untuk kebutuhan konsumen rumah tangga dan industri. Akibatnya tidak ada kontrol terhadap impor kentang yang benar-benar dilandaskan pada kebutuhan industri.
“Hal ini yang mengakibatkan kentang impor merembes ke pasar-pasar tradisional, bahkan hingga ke sentra produksi kentang,” kata Henry lagi.
Henry mengutip, data yang dirilis FAO menyebutkan, rata-rata angka konsumsi kentang di Indonesia mencapai angka 4,7 kg/kapita/tahun. Berbeda dengan data FAO, data konsumsi kentang nasional pada tahun 2015 jika mengacu pada proyeksi yang ditetapkan pemerintah dalam RPJMN 2015-2019, sebesar 2,1 Kg/Kapita/Tahun.
“Maka perkiraan konsumsi kentang nasional pada tahun 2015 sebesar 542.498,1 ton. Angka tersebut jauh di bawah produksi kentang secara nasional pada tahun 2015 yang sebesar 1.219.277 ton”.
Data konsumsi yang dikeluarkan oleh BPS berdasarkan Susenas justru menyebutkan angka yang berbeda. Menurut data yang dilansir BPS, angka konsumsi kentang nasional pada tahun 2015 hanya sebesar 1,48 kg/kapita/tahun. Justru lebih kecil dari proyeksi pemerintah dalam RPJMN.
“Makanya sangat aneh kalau kita masih impor kentang, padahal produksi cukup. Presiden Jokowi sendiri, pada pemberian penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara di Istana Negara Jakarta, Rabu, 30 November 2016, bersedih mendengar ada impor pangan,” imbuhnya.
Di sisi lain, Henry mengemukakan, fenomena tingginya impor kentang, umumnya tidak dapat disangkal lagi adalah imbas dari penerapan perdagangan bebas di Indonesia. Keberadaan WTO (World Trade Organization/Organisasi Perdagangan Dunia) sebagai representasi legalisasi perdagangan bebas global semakin memperluas cengkramannya, terkhusus Indonesia yang telah menyepakati perjanjian-perjanjian perdagangan bebas seperti AEC (ASEAN Economic Community/Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan CAFTA (Cina-ASEAN Free Trade Agreement/Perjanjian Perdagangan Bebas Cina-ASEAN).
“Belum lagi, keberadaan mekanisme perdagangan bebas akan diperkuat oleh disetujuinya RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership/Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional) yang saat ini perundingannya sedang berlangsung di IEC, BSD, Tangerang Selatan dari tanggal 6-10 Desember 2016,” jelas Henry.
Henry menambahkan, meskipun RCEP tersebut merupakan hal baru, namun perjanjian tersebut adalah perwujudan lain dari perdagangan bebas sebelum-sebelumnya. Bahkan, RCEP dapat dikatakan sebagai perluasan akses pasar dalam cakupan yang lebih ekspansif karena melibatkan negara-negara ASEAN dengan Cina, India, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru.
“Untuk itu, besok 8 November 2016, ribuan petani SPI dari kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Barat akan melakukan aksi tolak impor kentang di Kementerian Perdagangan RI, Istana Presiden RI, dan Kementerian Pertanian RI,” tambahnya.
Petani Kentang Dataran Tinggi Dieng Rugi Rp. 360 Miliar per Tahun
Akibat importasi kentang sayur ini, petani kentang lokal yang dirugikan. Didik, petani kentang anggota SPI asal Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah menegaskan, akibat importasi, petani kentang se-dataran tinggi Dieng (Wonosobo, Banjarnegara, Pekalongan, Batang, Temanggung) mengalami kerugian.
Ia menjelaskan, dalam satu hektar, lahan petani rugi Rp 24.000.000 per tahun, dengan luas lahan kentang di dataran tinggi Dieng sekitar 15.000 hektar. Jadi total kerugian petani sebesar Rp 360 miliar per tahun.
“Produk kentang kami biasanya dikirim ke Jakarta, tapi akibat impor kentang dari Cina dan Pakistan, kentang lokal tidak laku. Di Pasar Kramat Jati Jakarta contohnya, pada tanggal 24 Oktober 2016, kentang petani dijual sekitar Rp. 8.500 per kg sedangkan kentang impor dijual Rp.6.000 per kg,” kata Didik.
Setelah kentang impor mewarnai pasar tradisional, kentang kami hanya dihargai Rp. 6.500 per kg di tingkat petani.
“Dengan harga jual Rp 6.500 per kilogram saja, kami petani kentang rugi Rp. 12.000.000 per hektar, dalam setahun setidaknya ada dua kali musim tanam,” sambungnya.
Didik menambahkan, untuk memenuhi modal saja, setidaknya kentang lokal harus dijual seharga Rp. 7.500 per kilogramnya.
“Untuk itu kami meminta pemerintah untuk menghentikan impor kentang sekarang juga. Pemerintah juga harus memastikan ketersediaan benih kentang lokal yang berkualitas; dan melakukan pendampingan dan pendidikan secara terus menerus kepada petani untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi kentang yang dapat memenuhi kebutuhan kentang dalam negeri untuk menjamin kedaulatan pangan,” tutup Didik.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih, Ketua Umum SPI, 0811 655 668
Didik, Petani Kentang SPI Banjarnegara, 0813 2997 8199