JAKARTA. Opini yang menyebutkan tingginya harga bawang putih dalam beberapa waktu terakhir di Indonesia akibat tidak bisa impor adalah kekeliruan.Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SP) Henry Saragih, permasalahan mendasarnya tidak terletak pada soal importasi.
Henry menjelaskan, seharusnya pemerintah sudah dari jauh-jauh hari menetapkan grand design nasional soal pembangunan pertanian dan pangan yang mengatur mulai dari tata kepemilikan lahan bagi petani (maksimal dan minimalnya) melalui PPAN, cara produksinya yang terkait benih dan bibit berkualitas baik, model produksinya secara agroekologis, penanganan pasca panen, hingga distribusi dan kebijakan tata niaga pangan yang harus terus diperbaiki.
“Oleh karena itu bagi SPI bukannya kemudahan impor yang harus dilakukan. Pemerintah seharusnya juga melakukan kendali harga dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Namun, hingga kini hanya beras yang punya HPP, sedangkan untuk gula pemerintah hanya punya harga patokan. Ketidakpastian harga juga membuat petani beralih menanam yang lain, akibatnya pasokan bawang terganggu. Dan yang tidak bisa dipungkiri adalah akibat terjadinya oligopoli atau kartel pada perdagangan pangan yang berakibat, negara tidak lagi dapat mengontrol harga,” ungkap Henry di Jakarta (19/03).
Mengenai penyebab harga bawang yang berfluktuasi, Henry menilai hal ini terjadi karena beberapa hal seperti gagal panen akibat guyuran hujan, banjir dan pasangnya air laut (seperti di Brebes, namun ketika panen berlimpah, bisa dipastikan harga langsung jatuh). Penyebab lainnya adalah akibat masuknya bawang (merah) impor ke pasar (misalnya ketika petani Brebes panen bawang merah, bersamaan dengan itu pula masuk bawang merah impor dari Philipina, India, China ke pasar bawang merah Brebes melalui pelabuhan Cirebon). Misalnya saat bawang merah impor melimpah di pasaran di Januari 2012, harga komoditas itu anjlok Rp 3.000 sampai Rp. 2000 per kilogram untuk eceran dengan kualitas yang baik dari harga sebelumnya Rp. 7.000/kg. Sementara modal tanam petani mencapai Rp 5.500 per kilogram.
Jumala, petani bawang putih anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) asal Sembalun, Nusa Tenggara Barat menyampaikan dia terakhir menjual bawang putih kering ke pedagang di akhir Februari 2013 seharga Rp 15.000 per kilogramnya. Menurutnya harga lima belas ribu rupiah itu adalah harga yang tertinggi, sehingga dia menjual semua stok bawang putihnya dan hanya menyisakan untuk bibit.
“Waktu itu masa panen, karena harga tinggi saya jual semua bawang putih saya karena takut harga kembali turun. Tingginya harga bawang putih di satu sisi memang menguntungkan petani, namun di sisi lain justru memberatkan, soalnya harga pembelian bibit juga menjadi tinggi. Oleh karena itu kami meminta pemerintah untuk menjamin dan menetapkan harga produk pertanian yang menguntungkan kami petani dan tidak memberatkan konsumen. Untuk bawang putih basah, idealnya di harga Rp 7.000 dan bawang putih kering di harga Rp 15.000 – Rp 20.000 per kilogramnya,” papar Jumala yang dihubungi melalui telepon.
Henry juga menggarisbawahi mengenai mendesaknya pembentukan kelembagaan pangan sesuai mandat UU No.18/20112 tentang pangan. Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) ini memaparkan, kelembagaan pangan inilah yang harus dibuat segera dengan kewenangan mulai dari produksi, distribusi dan tata niaga,
“Kelembagaan pangan ini nantinya akan memiliki kewenangan memberikan perlindungan dan insentif bagi produsen pangan kecil atau petani-petani kecil; mengendalikan importasi; memberikan jaminan dan perlindungan harga produksi petani, yang layak dan menguntungkan juga bagi konsumen, mencegah kartel dan spekulasi; membuat kejelasan dan roadmap soal kecukupan produksi, cadangan pangan dan peta serta data pangan yang akurat; hinggamengkordinasikan lembaga-lembaga dan kementerian terkait pencapaian kedaulatan pangan. Namun lembaga pangan tersebut harus mempunyai satu fungsi pelayanan publik saja, bukan dualisme antara fungsi public service obligation dan komersial atau bisnis sebagaimana yang diterapkan oleh Bulog selama ini.” paparnya.
Henry menambahkan, ketersediaan lahan pertanian juga adalah faktor utama agar Indonesia mampu berdaulat pangan dan tidak lagi mengandalkan impor.
“Bagaimana mau bertani kalau lahannya saja tidak ada. Oleh karena itu kami juga mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk segera mendata dan membagikan lahan terlantar bagi petani tak bertanah, sesuai dengan program PPAN yang dicanangkan pemerintah SBY yang berjanji membagikan 7,2 juta Ha tanah, pembaruan agraria sejati,” tambahnya.