BALI. Delegasi yang terdiri atas petani kecil (perempuan dan laki-laki), masyarakat adat dan pemuda tani dari berbagai wilayah di dunia mewakili La Via Campesina (organisasi petani internasional) pada Konsultasi Global tentang Hak Asasi Petani, yang diadakan 27-30 September di Bali. Konsultasi global ini diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia dengan dukungan dari Pemerintah Norwegia dan Sekretariat Perjanjian Internasional Sumberdaya Hayati atas Pangan dan Pertanian (ITPGRFA).
Adapun yang menjadi tuan rumah acara ini adalah Serikat Petani Indonesia (SPI) dengan peserta yang berasal dari Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Latin.
ITPGRFA yang tergabung dalam FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) — meskipun telah eksis selama beberapa dekade — masih sangat sedikit berbuat untuk mengedepankan dan memajukan hak asasi petani, salah satu ketetapan pokok di dalamnya.
Dalam hal ini, delegasi petani kecil pedesaan dan masyarakat adat yang mewakili La Via Campesina mendesak pihak ITPGRFA dan pihak-pihak (pemerintah) untuk mengakui dan melaksanakan hak asasi petani, menolak undang-undang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), paten yang membahayakan kedaulatan pangan.
Benih yang dilestarikan dan disimpan petani dari lahannya adalah salah satu pilar tak tergantikan dari produksi pangan. Petani kecil di seluruh dunia telah menyadari hal ini selama berabad-abad. Ini adalah salah satu pemahaman yang paling universal dan paling dasar yang dipahami tiap petani. Kecuali dalam kasus-kasus di mana mereka telah menderita agresi eksternal atau keadaan ekstrim, hampir semua masyarakat petani tahu bagaimana cara menyimpan, melestarikan, menangkarkan dan berbagi bibit. Jutaan keluarga dan masyarakat tani telah bekerja untuk menciptakan ratusan bahkan ribuan varietas tanaman ini. Pertukaran benih antar komunitas dan masyarakat telah memungkinkan tanaman untuk beradaptasi dengan kondisi iklim dan topografi yang berbeda. Inilah yang menyebabkan pertanian menyebar dan berkembang, dan memberi makan masyarakat dunia.
Oleh karena itu, petani harus diberi akses tak terbatas dan tanpa syarat untuk mengembangkan beragam jenis benih, memiliki hak utuh untuk saling bertukar dan menjual benih antar sesamanya. Ini adalah syarat pertama yang diperlukan untuk memberi makan dunia. Untuk mempertahankan sistem benih berbasiskan petani kecil ini, dalam konsultasi tersebut, delegasi La Via Campesina akan berbicara tentang hak-hak asasi petani, untuk melindungi petani kecil, dan mempertahankannya dari propaganda hukum HKI.
Di sini, di Indonesia, tempat kegiatan ini berlangsung, petani di Jawa Timur telah dikriminalisasi karena diduga melanggar hak-hak sebuah perusahaan bernama BISI, anak perusahaan dari perusahaan benih Thailand, Charoen Pokhpand. Meskipun BISI tidak bisa menghadirkan bukti, petani telah dipanggil ke pengadilan dan empat belas dari mereka telah dituntut; bahkan sudah ada yang dipenjara[1]. Dalam kebanyakan kasus, para petani ini tidak memiliki pengacara untuk mewakili mereka dan mereka tidak mengerti mengapa yang mereka lakukan salah. Ada banyak contoh seperti ini di seluruh dunia, kriminalisasi petani oleh industri atas nama paten dan kekayaan intelektual. Ini adalah pelanggaran terang-terangan dari hak asasi petani.
Delegasi La Via Campesina juga menekankan, partisipasi petani kecil dalam pengambilan keputusan tidak harus dikurangi karena masuknya beberapa organisasi yang tunduk pada tekanan korporasi dan menerima keputusan yang sudah dibuat. Selanjutnya, selain mengurangi keterlibatan para tuan tanah, forum dan kebijakan ini harus menyertakan perempuan, masyarakat adat, petani tak bertanah, pekerja pertanian yang tidak memiliki lahan, nelayan dan penggembala.
La Via Campesina mendesak ITPGRFA dan pihak-pihak terkait untuk melihat hukum progresif yang disahkan di berbagai wilayah dunia, yang terbaru adalah yang disahkan oleh Pemerintah Venezuela [2] awal tahun ini, yang menjunjung tinggi kedaulatan pangan nasional, mengatur produksi benih hibrida, dan menolak produksi, distribusi dan impor benih transgenik. Pemerintah Indonesia, Mali, Nepal dan beberapa lainnya telah mengadopsi kedaulatan pangan sebagai prinsip, beberapa dari mereka bahkan memberlakukan ini menjadi undang-undang (misalnya Indonesia).
La Via Campesina juga menuntut bahwa “Dana Benefit-Sharing” tidak harus membiayai lembaga penelitian dan lembaga lainnya yang ditujukan untuk mengumpulkan benih petani dan semacamnya dan informasi genetik lainnya yang ditujukan untuk memfasilitasi patenisasi. Sebaliknya, dana tersebut harus langsung membiayai organisasi kecil petani yang menseleksi, memproduksi dan melestarikan benih lokal mereka, lahan konservasi, ataupun teknologi jangka panjang (misalnya membangun daerah tanpa listrik). Peneliti yang berkolaborasi dalam kerja kolektif ini juga harus di bawah arahan petani, bisa juga dengan pertukaran kader petani pada tingkat nasional dan internasional.
[1] https://www.grain.org/article/entries/5142-seed-laws-that-criminalise-farmers-resistance-and-fightback#4 Asia struggles
[2] http://www.gmwatch.org/news/latest-news/16602-venezuela-passes-national-anti-gmo-and-anti-patent-seed-law
Delegasi La Via Campesina di Bali :
Zimbabwe Small Holder Organic Farmers’ Forum (ZIMSOFF), Movimento dos Pequenos Agricultores (MPA, Brazil), Movement for Land and Agriculture Reform (MONLAR, Srilanka), Serikat Petani Indonesia, Confédération Paysanne (France), Indian Coordination Committee of Farmers’ Movements (ICCFM), Assembly of Poor (Thailand), Coordinador Nacional Agrario-CAN (Colombia).
dalam komoditi kakao.
BENIH KAKAO HARUS DIPRODUKSI OLEH KEBUN BEIH BINA
pengguaan benih bina di komoditi kakao …..telah menghilangkan hak petani untuk memproduksi benih.
padahal benih bina sering memiliki kualitas yang rendah dibanding dengan kwalitas yang dimiliki petani.
MOHON pengawal SPI