Untung Cepat dengan Impor Beras

Oleh: Achmad Ya’kub *

JAKARTA. Pangan merupakan produk yang khusus, disebut khusus karena merupakan salah satu kebutuhan mendasar manusia dan memiliki karakteristik yang khas dalam ekonomi politik. Salah satunya sesuai dengan hukum Engel yang mengatakan bahwa, semakin rendah tingkat pendapatan rumah tangga maka akan semakin tinggi pengeluaran untuk pangan. Di Indonesia rata-rata rumah tangga miskin mengeluarkan 73% pendapatannya untuk pangan. Untuk melindungi kepentingan nasional, stabilitas ekonomi dan politik serta pelayanan bagi rakyat maka peran negara haruslah kuat. Terutama dalam hal mengontrol produksi, distribusi dan tata niaga pangan. Sebagai negara kepulauan maka mengatur ketiga hal tersebut bukanlah perkara mudah. Bahkan pada jaman Belanda tepatnya tahun 1939 sudah dibentuk Voeding Middelen Fonds (VMF) lembaga cikal bakal berdirinya BULOG, yang tugasnya untuk menjamin pengadaan dan penjualan bahan pangan.

Karena tidak stabilnya harga-harga pangan merupakan momok tersendiri bagi pemerintah dimana-mana didunia ini. Bagi Indonesia harga beras merupakan indikator utama dalam ekonomi politik nasional. Maka itu sejak jaman kemerdekaan banyak program yag diluncurkan untuk pengadaan beras seperti Rencana Wicaksono, Rencana Kasimo, Rencana Kesejahteraan Istemewa (1945-1960). kemudian dilanjutkan Gerakan Swasembada Beras, Komando Gerakan Operasi Makmur (KOGM), serta BIMAS, INMAS, INSUS pada masa orde baru.

Sekarang ini dalam pidatonya Presiden SBY di Istana Bogor bulan Februari 2011 lalu dengan gagah membuat target surplus beras sebesar 10 juta ton. Apa yang terjadi sekarang ini? Hanya enam bulan berselang justru program impor beraslah yang dilakukan. Dengan berbagai alasan seperti i)untuk candangan beras pemerintah melalui BULOG, ii) stabilisasi harga beras, iii) antisipasi perubahan iklim iv) dan akibat dari aturan perdagangan internasional (WTO). Sebab itu saat ini pemerintah melalui mekanisme G to G dengan Vietnam bersepakat untuk impor beras sebanyak 500.000 ton.

Bahkan sejak tahun 2010- Maret 2011 menurut Laporan Pemantauan Harga dan Distribusi Barang Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan realisasi impor beras dari luar negeri selama 2010- maret 2011 mencapai 1.848.426 ton atau 92,5 persen dari seluruh kontrak pengadaan beras impor yang sebesar 1.998.000 ton.

Untung cepat beras impor

Beberapa pihak menyoroti tidak mampunya Bulog menyediakan stok beras belakangan ini. Pengadaan gabah dari kaum tani langsung dianggap kurang, sehingga jika ada masalah kenaikan harga dan kekurangan stok seharusnya bisa diatasi dengan memperbanyak beli gabah dan beras petani. Masalahnya, Bulog juga terpaku pada aturan pasar karena perannya tidak hanya sebagai public service obligation (PSO) lagi, melainkan sudah mencari profit. Adalah rasional jika dalam keadaan demikian Bulog lebih berorientasi impor dalam keadaan kekurangan stok dan kenaikan harga.

Sejak awal tahun 2010 hingga sekarang ini bila dirata-rata harga beras premium sekitar Rp. 7.141 per kilogram. Jauh diatas harga HPP tahun 2009 yang masih berlaku sekarang yakni Rp. 5.060 per kilogram. Sementara harga beras internasional diambil yang tertinggi yakni $540 per ton atau sekitar Rp. 4.590 per kilogram FOB (freight on board) di Bangkok. Beras impor dengan harga tertinggi itu tersebut masih dibawah Harga Pembelian Pemerintah.

Sebagai ormas tani, Serikat Petani Indonesia (SPI) menghitung secara awam, keuntungan besar yang akan diterima oleh importir beras baik Bulog maupun rekanannya yakni, dengan impor sebanyak 1,848 juta ton beras periode 2010-Maret 2011 sama dengan 1, 848 Milyar kilogram beras dengan harga $540 per ton. Jadi devisa yang terkuras kurang lebih 1 triliun rupiah.

Jika kita rata-ratakan setiap hektar menghasilkan gabah kering giling sebanyak 5-6 ton  (sekitar 3,5 ton beras) jadi 1.848.426 ton dibagi 3,5 ton setara dengan 528.121 hektar lahan sawah. Bila petani memiliki lahan sawah 1 hektar maka ada sebanyak 528.121 kepala keluarga petani atau 2,1 juta jiwa yang bisa terbantu dari dana impor tersebut.

Sebaliknya kita asumsikan importir setelah dipotong biaya angkut, asuransi, dan pajak dalam setiap satu kilogram mendapatkan keuntungan bersih Rp. 1.000 maka 1,8 milyar kilogram dikalikan Rp. 1.000 =setara dengan 1.848.426.000.000 (hampir 2 triliun) keuntungan bagi importir. Hal ini didapatkan dengan sekejap waktu tanpa resiko gagal panen, serangan hama, dan kerja keras. Bandingkan sedikit keuntungan petani, yang harus kerja keras siang malam untuk menanam padi disawahnya dengan berbagai resiko tanpa proteksi setidaknya selama 110 hari hingga panen dan plus 15 hari untuk persemaian.

Dengan situasi tersebut rasanya jauh dari keadilan bagi bangsa ini, masyarakat harus membayar dua kali yakni kehilangan pajaknya yang digunakan dipasar luar negeri dan membayar keuntungan bagi importir. Untuk merespon ini semua, janji manis didengarkan lagi dengan program HPP plus yakni membeli beras petani sebanyak 1 juta ton diatas HPP beras yakni seharga Rp. 5.600 per kilogram dengan nilai total 6 triliun rupiah. Pertanyaannya dengan harga yang sekarang ini dipasaran nasional yang sudah diatas Rp. 6.200 per kilogram maka program HPP plus ini seperti menggantang asap saja bukan? dipastikan petani akan menjual langsung kepasaran via tengkulak yang sekarang di Cirebon sudah membeli GKP seharga Rp. 4.300 per kilogram.

Tak pelak lagi, peran negara sangat krusial dalam menghajar spekulasi, politik rente dan kepentingan jangka pendek ini demi jutaan keluarga tani dan tegaknya kedaulatan pangan nasional.

 

*Penulis adalah Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional (SPI). Tulisan ini juga diterbitkan di Harian Sore Sinar Harapan, Edisi 6 Agustus 2011


ARTIKEL TERKAIT
SPI Bireuen Selenggarakan Pelatihan Pertanian Organik
Damak Maliho kembali bergolak, petani bangkit melawan
SPI Siap Dukung Program Swasembada Pangan Pemerintah Demi Te...
SPI - La Via Campesina Tekankan Pentingnya Deklarasi Hak Asa...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU