Sejak Konferensi para Pihak (COP) yang ke-13 di Bali, Pemerintah Indonesia kelihatan begitu aktif dalam melakukan upaya penyelamatan bumi dari perubahan iklim. Namun upaya itu ternyata tidak diikuti dengan komitmen dan langkah nyata pengurangan emisi negara Annex 1, pemerintah justru menjadikan Indonesia sebagai “Toilet Karbon” negara-negara tersebut, lewat mekanisme perdagangan-offset karbon, dan penambahan utang baru . Model pembangunan negara-negara utara yang rakus energy, rakus lahan, rakus air, dan pemanfaatan buruh murah, sesungguhnya merupakan penyebab utama bencana perubahan iklim. Sayangnya model tersebut juga diadopsi oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia dan diyakini sebagai model pembangunan masa depan.
Perubahan iklim telah dibelokkan menjadi alat legitimasi baru untuk kembali menguasai sumberdaya alam yang tersisa di negara berkembang sekaligus penguasaan teritori negara tersebut. Hal ini sebagaimana yang ditemukan dalam skema mitigasi di sektor kehutanan (Pengurangan Emisi dari Deforestasti dan Degradasi Lingkungan/REDD). Skema ini menjual murah 26,6 juta hektar hutan alam Indonesia mulai dari tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, dan ruang interaksi social, dan entitas masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, seharga Rp. 12,- per meter perseginya.
Dengan sadar pemerintah Indonesia telah menggadaikan seluruh aset negara (Sumberdaya Alam) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal tersebut semakin disempurnakan dengan perluasan proyek utang baru atas nama perlindungan dari bencana iklim. Dimana Pemerintah Indonesia telah menerima $500 juta dari Perancis (AFD) dan $300 Juta dari Jepang (JICA), serta tambahan $400 Juta lagi dari pemerintah Jepang atas nama proyek-proyek adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Solusi palsu yang ditawarkan dalam negosiasi iklim dan dilaksanakan dengan dukungan dana utang negara-negara maju, seperti inisiatif REDD, mekanisme carbon Trading-offsetting, Clean Development Mechanism (CDM), transfer tekhnologi kotor (agrofuel, nuklir, carbon capture storage) dan proyek-proyek rekayasa genetika benih dengan alasan ketahanan pangan sama dampaknya dengan kekeringan, tornado dan perubahan pola iklim yang baru itu sendiri. Solusi palsu itu tidak akan mengurangi emisi gas rumah kaca ataupun menyelamatkan jutaan petani kecil, nelayan dan masyarakat adat dari dampak perubahan iklim yang telah terjadi saat ini. Proyek-proyek tersebut justru memperparah konflik lahan yang masih berlangsung, pelanggaran HAM dan tumpang tindih kawasan lintas sektoral.
Indonesia seharusnya mampu mengurangi dampak perubahan iklim tanpa harus menambah utang baru, ataupun menjadi ”Toilet Karbon” negara maju. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membantu jutaan petani kecil yang melakukan pertanian berkelanjutan yang terbukti mampu untuk mengembalikan senyawa organik yang dapat menyerap hingga 60 persen dari cemaran karbon. Dengan menjalankan moratorium pembalakan hutan dan mengakui akses dan kontrol rakyat atas sumberdaya tersebut. Melibatkan pihak yang paling rentan akibat dampak perubahan iklim seperti petani, nelayan, buruh, masyarakat adat dan perempuan dalam merumuskan kebijakan terkait berikut implementasinya.
Kami terus mendesakkan bahwa solusi perubahan iklim harus dilakukan dengan meng-arusutamakan prinsip-prinsip berikut:
Aksi “We seek HELP ” ini merupakan bagian dari rangkaian aksi menghitung mundur – 33 hari menuju perundingan COP-15 yang akan dilaksanakan di Copenhagen pada tanggal 7 – 18 Desember 2009, dan akan terus berlanjut pada setiap hari Rabu pagi.