Jokowi Harus Perjuangkan Agenda Kedaulatan Pangan di Pertemuan APEC

JAKARTA. Belum sebulan setelah dilantik menjadi Presiden, Jokowi menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) di Beijing, Tiongkok, 10 – 11 November 2014. Sampai saat ini APEC beranggotakan 21 negara, diantaranya Indonesia, Tiongkok, Jepang Amerika Serikat, Rusia, Australia, Meksiko, Peru, Selandia Baru, Thailand, Vietnam, Malaysia dan Singapura. Secara umum tujuan utama dari APEC 2014 yang bertemakan Membentuk Masa Depan melalui Kerja Sama Asia Pasifik ini adalah penguatan integrasi ekonomi regional, pertumbuhan dan reformasi ekonomi dan pembangunan yang inovatif, dan penguatan infrastruktur dan konektivitas yang menyeluruh.

Pernyataan bersama tingkat menteri negara-negara anggota APEC pada 8 November menyebutkan, diantaranya (i) pemberlakuan perjanjian fasilitas perdagangan hasil WTO Bali, sekaligus untuk menghilangkan sifat proteksi dan segala hambatan perdagangan; ii) upaya memberlakukan perjanjian perdagangan bebas pada tingkat bileteral, regional dan plurilateral sebagai pelengkap inisiasi liberalasi tingkat global, (iii) upaya realisasi area perdagangan bebas tingkat Asia Pasifik (Free Trade Area of the Asia-Pasific-FTAAP); (iii) merancang konektifitas rantai pasok untuk melancarkan perdagangan bebas, dan (iv) standarisasi keamanan pangan dan mengurani kehilangan kualitas dan kwantitas pangan (food loss) dalam rantai nilai (value chain).

Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan keputusan Jokowi dalam pertemuan itu harus meminimalisasi dampak dari globalisasi dan mewujudkan perdagangan yang adil untuk kepentingan sektor nasional Indonesia, tercakup di dalamnya adalah visi kedaulatan pangan.

“APEC adalah forum yang mendorong berlakunya liberalisasi perdagangan, termasuk di dalamnya produk pertanian. Pak Jokowi sebaiknya sekedar tegur sapa dan ‘bergaul’ saja, karena kalau kita mengadopsi paham liberalisasi ini, kedaulatan pangan yang jadi misi Jokowi-JK mustahil tercapai,” papar Henry di Jakarta pagi ini (10/11).

Henry mengingatkan, Indonesia dengan jumlah penduduk 238 juta tentu menjadi pasar kebutuhan hidup yang sangat menjanjikan, di samping juga pasar sumber daya agraria. Karena itu forum internasional tersebut tidak akan lelah untuk mendorong terjadinya pasar bebas (produk pertanian) kepada Indonesia dengan cakupan area yang lebih luas, tidak hanya ASEAN, tetapi juga kawasan Asia Pasifik, belum lagi adanya Masyarakat Ekonomi Asean pada tahun 2015.

“Dapat dibayangkan bagaimana aliran pangan dari kawasan ASEAN, Tiongkok dan kawasan Asia lainnya akan begitu lebih mudah masuk ke Indonesia dengan pembangunan infrastruktur darat yang menghubungkan wilayah Tiongkok dengan negara-negara ASEAN tidak terkecuali Indonesia. Sementara kaum tani Indonesia masih akrab dengan persoalan akses kepemilikan lahan yang rata-rata 0,3 hektar per KK di Jawa, infrastruktur, perbankan, gagal panen karena perubahan iklim ekstrim, harga pasar yang tidak stabil ketika petani berhasil meningkatkan produksi pertaniannya karena tingginya impor pangan yang tahun lalu capai $ 14, 9 miliar yang akibatkan hilangnya lima juta keluarga tani dalam sepuluh tahun terakhir dan rendahnya indeks kebahagiaan masyarakat desa (64,32) daripada masyarakat kota (65,92),” papar Henry.

Oleh karena itu Henry menambahkan, tidak ada kata-kata selain kerja, kerja, dan kerja untuk menciptakan kedaulatan pangan dan menerapkan politik luar negeri yang cerdas untuk membendung lobi-lobi dan bahkan rekomendasi dari forum Internasional, yang berpotensi menyengsarakan kaum tani di Indonesia.

 

Kontak selanjutnya:

Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668

ARTIKEL TERKAIT
SPI Sumatera Barat & Riau Selenggarakan Musyawarah Tani
SPI Gagas Empat RUU Baru SPI Gagas Empat RUU Baru
Stop Kriminalisasi Petani & Pejuang Petani Penegak Reforma A...
SPI Cabang Cirebon dideklarasikan
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU