Kebijakan Pertanian Pemerintah Salah Arah

Kedaulatan Pangan adalah hak asasi untuk memproduksi, konsumsi dan pemasaran hasil pertanian berbasiskan rakyat. Hak asasi negara dan rakyat Indonesia ini semakin terancam oleh penetrasi modal korporasi di bidang perkebunan, pangan, tambang, air, laut dan udara. Dari segi produksi petani dibiarkan saling berebut lahan dengan perusahaan besar dan biaya produksi yang tinggi akibat ketergantungan alat-alat produksi. Dalam hal konsumsi rakyat dihadapkan pada pangan impor yang belum tentu sehat karena mengandung bahan-bahan kimia berbahaya. Kemudian hasil pertanian rakyat dihargai rendah karena tidak adanya perlindungan pasar.

Negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan lagi dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini sektor pangan tergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Pertanian tanaman pangan Indonesia dihadapkan pada situasi yang dilematis, di satu sisi ketersediaan lahan yang cukup luas (sebagai negara agraris) namun untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat, Indonesia melakukan impor pangan.

Disaat kekurangan pangan bukannya memperkuat basis produksi pertanian rakyat, pemerintah justru mengganti peran petani kecil ke korporasi diantaranya melalui :

  1. Food Estate atau pertanian tanaman pangan berskala luas. Food Estate memberikan penguasaan penuh bagi perusahaan swasta nasional dan swasta asing untuk memproduksi pangan. Misalnya proyek Merauke Integrated Food Energy and Estate (MIFEE) sudah mulai di garap oleh Wilmar Group dan Rajawali group, dan diikuti oleh perusahaan swasta asing dan nasional lainnya pada lahan seluas 570.000 ha yang dicadangkan Kementerian Pertanian periode 2010-2014. Kemudian PT Sang Hyang Seri dan PT Pupuk Sriwidjaja merespon program food estate seluas 100.000 ha di Kalimantan (Mentan,Suswono 15 April 2012), PT Nusa Agro Mandiri -pemilik restoran Solaria- 1.950 ha dan PT Miwon Indonesia 3.245 ha juga sudah mengelola Food Estate di Kalimantan.
  2. Pertemuan Forum Ekonomi Dunia Asia Pacifik (Jakarta 12-13 Juni 2011) menghasilkan kesepakatan untuk membentuk World Economic Forum Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture antara pemerintah dengan 14 perusahaan pertanian dunia seperti Medco, Nestle, Unilever, Cargill, Sygenta, Dupon, Mosanto, Mckinsey, Indofood, ADM, SwissRA, Sinar Mas, Bungee, dan Kraft.
  3. Gerakan Produksi Pangan dengan sistem Petani Plus Korporasi Negara. Ada lima Konsorsium BUMN yang terlibat : PT Pertani dan Sang Hyang Seri (penyedia benih); PT Pupuk Sriwijaya (pupuk); Perum Jasa Tirta I dan II (air); Perum Perhutani, PT Inhutani, dan PT Perkebunan Nusantara; serta Perum Bulog (pengelola hasil produksi) dengan salah satu skemanya yaitu pola pengelolaan (sewa lahan petani). PT PEN anak perusahaan PT PUSRI pernah masuk Sumatera Barat untuk menyewa sawah petani di awal 2012 dan dengan tegas ditolak  Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat karena akan merugikan petani.

Pemerintah membentangkan karpet merah bagi korporasi untuk semakin menguasai tanah dan pangan di Indonesia. Bahkan RUU Pangan yang tengah dibahas DPR RI saat ini tidak menjamin terpenuhinya hak-hak rakyat atas pangan, karena lebih melihat pada aspek ketersediaan dan pangan sebagai komoditas,serta tidak terlindunginya bibit-bibit lokal.

Kebijakan pemerintah meningkatkan tanaman berorientasi ekspor melalui perkebunan besar (korporasi) selama ini terbukti berakibat pada terjadinya alih fungsi lahan dan konflik agraria  berkepanjangan.  Alih fungsi lahan pertanian secara nasional mengkwatirkan yaitu berkisar 100 – 120 hektar pertahun. Kemudian, laporan Badan Pertanahan Nasional (BPN), sepanjang tahun 2011 terjadi 2.791 kasus pertanahan di seluruh Indonesia.

Telah terjadi dominasi, hegemoni kekuatan kapitalis global dalam hal penguasaan pangan dan sumber-sumber agraria di Indonesia, pemerintah gagal membangun konsep kemandirian atau ekonomi berdikari. Bahkan terjadi persaingan tidak sehat antara pemilik modal dengan masyarakat dalam perebutan sumber-sumber agraria.

Pembaruan agraria sejati sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan, menata kembali struktur ketimpangan penguasaan agraria selama ini. Di ikuti dengan pendistribusian tanah kepada petani, khususnya untuk pembangunan pertanian pangan berbasis rakyat, sebagai prasyarat utama mewujudkan kedaulatan pangan dan keadilan sosial.

Pemerintah terlena dengan teori-teori ahli ekonomi kapitalis global bahwa “Pembangunan ekonomi yang tangguh memerlukan perkembangan ekonomi yang cepat, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi diperlukan peningkatan ekspor dan peningkatan investasi secara berkelanjutan”.

Pemerintah mesti bercermin pada krisis ekonomi dimasa lalu dimana Indonesia mampu bertahan karena ditopang sistem produksi pangan lokal (pedesaan) yang mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat sekitarnya. Demi memacu pertumbuhan ekonomi tinggi tidak seharusnya pemerintah mengorbankan kedaulatan negara dan rakyatnya atas pangan. Perkuat pertanian pangan berbasis rakyat, jangan serahkan hak asasi negara dan rakyat kepada perusahaan raksasa yang jelas-jelas mementingkan laba dan loba.

*Penulis adalah Ketua Badan Pengurus Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat

ARTIKEL TERKAIT
Presiden Bertemu Petani, Bahas Reforma Agraria hingga Pering...
Perjanjian Perdagangan Bebas; Malapetaka Bagi Petani Kecil Perjanjian Perdagangan Bebas; Malapetaka Bagi Petani Kecil
DPW SPI Jawa Barat Resmi Terbentuk
Pertanian organik di Taiwan Pertanian organik di Taiwan
1 KOMENTAR
  1. iskaryono berkata:

    texting

BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU