JAKARTA. Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) mendesak pemerintah untuk segera mencabut keputusan pembebasan bea masuk bahan pangan impor. Keputusan yang dikeluarkan kemarin tersebut (20/1) dinilai sebagai keputusan yang tergesa-gesa dan panik dan segera menyusul akan dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) hari ini (21/1).
Henry Saragih, Ketua Umum DPP SPI, menyatakan Serikat Petani Indonesia (SPI) menolak penghapusan bea masuk terhadap 59 produk impor bahan baku pangan dan meminta pemerintah segera mencabut kebijakan tersebut. “Kebijakan penghapusan bea masuk ini akan menjadi babak kedua bagi kehancuran pertanian di Indonesia setelah kesepakatan Letter of Intens (LoI)Pemerintah RI dengan IMF pada 1998 lalu,” ujarnya di Jakarta, hari ini.
Ketika itu, Pemerintah Indonesia tunduk dibawah IMF antara lain melaksanakan Privatisasi, deregulasi dan liberasasi. Dampaknya, Indonesia dibanjiri produk pangan dari luar dan terjadi penurunan bea masuk impor produk pangan menjadi nol persen. Contohnya, Indonesia harus mengimpor 70% kedelai untuk kebutuhan nasional dari sebelumnya yang hanya 30% serta harus melakukan impor beras dan berbagai produk pangan lainnya, padahal pada masa-masa sebelumnya Indonesia selalu mampu mencukupi kebutuhan pangan pokoknya itu.
Dan seperti diketahui, dalam perkembangan terakhir ini pemerintah telah menyetujui pembebasan bea masuk 0% untuk 59 pos tarif bahan baku (komoditas pangan), termasuk didalamnya pakan ternak, terigu (gandum) dan beras impor, dengan dalih untuk menstabilkan harga pangan.
Henry, yang juga Koordinator Umum gerakan petani internasional ‘La Via Campesina’, mengatakan pembebasan bea masuk itu hanya akan menguntungkan perusahaan, kartel dan spekulan pangan dunia saja, sedangkan petani akan menjadi lebih sengsara.
Henry mencontohkan, krisis pangan yang terjadi di dunia saat ini telah meningkatkan keuntungan perusahaan agribisnis atau perusahaan perdagangan produksi pertanian, rata-rata hampir 100% dari tahun sebelumnya. Adapun Perusahaan-perusahaan yang sangat mendominasi penguasaan bahan pangan dan pendukung produksi pertanian di dunia itu diantaranya Bunge (USA), Cargill (USA), Nable Group (Singapore), Potas Corp. (Canada), Mosaic (USA), Yara (Norwegia), Monsanto, Syngeta, Bayer dan DOW.
“Krisis pangan ini sebenarnya lebih dipengaruhi oleh ulah para spekulan dan kartel-kartel pangan dan diperparah lagi besarnya pasokan bahan pangan untuk agrofuel dan pakan untuk industri ternak,” lanjut Henry. Dan dengan adanya pembebasan bea masuk tersebut, Indonesia saat ini sudah terjebak dalam jeratan perdagangan bebas pangan sehingga negara ini akan sulit memiliki harapan untuk membangun kemandirian apalagi kedaulatan pangan.
Henry menjelaskan, ancaman krisis pangan adalah akibat dari implementasi perdagangan bebas pangan yang utamanya diciptakan oleh World Trade Organization (WTO), yang ironisnya, Indonesia adalah salah satu negara yang utama meratifikasi ketentuannya. Selain itu juga begitu besarnya bahan-bahan pangan yang dipasok untuk kebutuhan agro fuel dan pakan ternak (industrialisasi ternak) serta akibat dari terjadinya perubahan iklim (climate change).
“Tapi yang selama ini hanya didengungkan pemerintah, krisis pangan adalah akibat dari terjadinya perubahan iklim dan tidak seimbangnya produksi pangan dengan pertumbuhan jumlah penduduk,” katanya. Padahal, lanjut, Henry, perubahan iklim dapat disiasati dengan melakukan inovasi pertanian dan hasil produksi pangan menurutnya masih jauh lebih besar dari kebutuhan jika saja tidak dimanipulasi oleh perusahan dan spekulan tersebut.
SPI sendiri, kata Henry, sebenarnya sudah berulang kali mengusulkan solusi yang komprehensif kepada pemerintah dalam upaya membantu membangun kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Diantaranya mendesak pemerintah segera meredistribusi lahan terlantar dan tanah-tanah yang dikuasai perusahaan perkebunan dan kehutanan sebagai tanah obyek landrefor agar dimanfaatkan oleh keluarga-keluarga petani dengan mengutamakan keluarga tani yang tak bertanah.
Merealisasikan model pertanian berkelanjutan melalui program ‘go organic’ untuk menjawab kebutuhan teknologi inovasi pertanian bagi para petani kecil. Serta membatasi atau bahkan melarang impor komoditas-komoditas pertanian karena telah terbukti pada 1998 lalu hal itu telah merusak sektor pertanian di Indonesia, terutama komoditas pangan, khususnya beras.
Pemerintah juga telah diminta berkali-kali oleh SPI untuk bersungguh-sunguh mengembangkan pertanian rakyat yang dikembangkan sendiri oleh para petani sehingga hasilnya, paling tidak, dapat mencukupi kebutuhan petani yang saat ini berjumlah sekitar 15,6 juta jiwa (proyeksi SPI). Lalu memprioritaskan pengembangan lahan tanaman pangan melalui program pembaruan agraria, bukan melalui food estate, untuk menurunkan jumlah impor dan menjamin ketersediaan pangan dalam negeri.
Tidak mengalihfungsi lahan-lahan subur yang digunakan untuk pertanian menjadi peruntukkan lain di luar sektor pertanian serta pembatasan modal asing dalam pengelolaan sumber daya agraria. Serta mencabut UU sektoral yang tidak menguntungkan rakyat dan petani, seperti UU Perkebunan No.18/2004, UU Pengelolaan Sumber Daya Air No.7/2004, UU Kehutanan No.19/2004, UU No.25/2007 dan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan UU Penanaman Modal No. 25/2007.
Selanjutnya, mengusulkan agar peran Bulog harus ditegakkan kembali sebagai lembaga yang berperan menjaga stabilitas harga dan stok pangan, terutama bahan pokok seperti beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan gula. Serta meminta pemerintah agar mengambil langkah tegas mencegah terjadinya manipulasi hasil dan produksi pertanian oleh perusahaan dan para spekulan karena sangat merugikan petani dan masyarakat luas.(*)
===================================================================
Kontak :
Henry Saragih (Ketua Umum SPI) : 0811-655- 668
Tita Zen (Ketua Dep. Komunikasi Nasional SPI) . 081-111-1998