Oleh: Tri Hariyono*
Akhir-akhir ini masalah pangan menjadi berita hangat di tingkat dunia. Berita-berita yang muncul di media massa cetak maupun elektronik tidak hanya terbatas perbincangan seputar kelangkaan pangan; mahalnya harga komuditas pangan ternyata telah menimbulkan gejolah di berbagai negara di Inggris, Aljazair, Rusia, China, Jepang, termasuk Indonesia.
Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber agraria yang melimpah. Hal ini pulalah yang menyebabkan sebagian besar penduduk Indonesia terlibat dalam dunia pertanian. Data terkini yang dihimpun Serikat Petani Indonesia (SPI) dan berbagai elemen petani menyebutkan saat ini setidaknya ada 21 juta kepala keluarga (KK) yang hidup dari pertanian di Indonesia. Namun ironisnya, sebagai negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi saat ini Indonesia bukan saja tidak mampu berswasembada pangan, tetapi sebaliknya justru mengalami krisis pangan. Malah sebagian kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor.
Kenyataan bahwa petani memiliki kebutuhan strategis dalam pemenuhan kebutuhan pangan, sudah diakui oleh semua orang. Tetapi bahwa rakyat tani merupakan salah satu di antara kantong-kantong kemiskinan adalah kenyataan yang sudah pula banyak diketahui. Inilah ironi petani. Sebagai penghasil dan penyedia kebutuhan dan kecukupan pangan seluruh negeri, petani justru banyak yang hidup dalam kemiskinan atau bahkan di bawah garis kemiskinan.
Ironi petani seperti dimaksud di atas tentu saja bukanlah khas Indonesia. Ironi petani adalah fenomena yang umum diberbagai negara Dunia Ketiga. Sebagai contoh dapat dilihat kenyataan di Thailand dan Vietnam. Kedua negara ini merupakan negara pengekspor beras, tetapi petaninya tetap hidup miskin.
Menurut banyak pengamat, ironi petani di era modern ini karena petaninya ditempatkan sebagai kuli dalam produksi pangan. Dalam konteks penempatan petani hanya sebagai kuli dalam produksi pangan itulah, selama ini petani dan sektor pertanian telah menjadi korban utama dari kebijakan elit Repubik Indonesia yang berkolaborasi dengan rezim neoliberalisme. Sampai sekarang, petani dan pertanian masih senantiasa diposisikan sebagai penghasil pangan dan bahan baku murah, pengaman inflasi ketika kabinet ketakutan dengan inflasi dua digit, pendukung kelayakan industrialisasi, bemper ketenagakerjaan ketika tidak mampu membuka lapangan kerja baru, dan target fiskal yang tidak masuk akal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa petani sebagai pemasok sejati bahan pangan tidak menjadi bagian integral dari konsep dan kebijakan ketahanan pangan nasional. Oleh karena itulah kemudian tidak tersedia payung dan perlindungan hukum untuk menjamin kedaulatan petani vis-a-vis serbuan impor pangan dari luar maupun kekuatan kapitalisme industri pangan. Padahal tanpa petani yang kuat, ketahanan pangan nasional tidak mungkin bisa diwujudkan. Sementara untuk mewujudkan petani yang kuat diperlukan payung perlindungan hukum yang menjamin kedaulatan, nasib, dan harkat petani.
Kedaulatan Petani
Bila kita ingin mewujudkan kedaulatan pangan nasional, maka salah satu prasyarat pokok yang terlebih dahulu harus diwujudkan adalah kedaulatan dan kesejahteraan petani. Kedaulatan pangan nasional yang tidak dilandasi oleh kedaulatan dan kesejahteraan petani hanya akan menjadi kedaulatan yang rapuh, yang mudah tumbang bila diterpa badai krisis. Kondisi seperti ini yang terjadi dalam sistem ketahanan pangan nasional kita selama ini, yang begitu rapuh ketika terjadi krisis, karena penegakannya tidak bertumpu pada kedaulatan dan kesejahteraan petani. Kedaulatan pangan harus didukung dan bertumpu pada kedaulatan petani. Tanpa adanya kedaulatan petani tidak akan terwujud kedaulatan pangan yang sejati. Kedaulatan petani hanya akan terwujud apabila ada pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi petani.
Menurut Deklarasi La Via Campesina Regional Asia Tenggara-Asia Timur tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Petani, dalam garis besarnya hak-hak asasi petani meliputi: (1) Hak atas kehidupan yang layak, (2) Hak atas sumber-sumber agraria, (3) Hak atas kebebasan budidaya dan tanaman, (4) Hak atas modal dan sarana produksi pertanian, (5) Hak atas akses informasi dan teknologi pertanian, (6) Hak atas kebebasan menentukan harga dan pasar produksi pertanian, (7) Hak atas perlindungan nilai-nilai budaya pertanian, (8) Hak atas keanekaragaman hayati, (9) Hak atas kelestarian lingkungan, dan (10) Hak atas kebebasan berorganisasi.
Pada tingkat yang lebih tinggi dan dalam skala yang lebih makro, kedaulatan pangan dan kedaulatan petani sangat dipengaruhi oleh kedaulatan negara. Dalam konteks kedaulatan pangan, tingkat dan kapasitas kedaulatan negara sangat bergantung kepada sejauhmana negara mampu membebaskan diri dari rezim Dana Moneter Internasional (IMF), rezim Bank Dunia, dan rezim Organisasi Perdagangan Dunia (WTO); ketiganya merupakan instrumen dari neokolonialisme-imperialisme. Jika negara tidak mampu melepaskan diri dari ketiga rezim IMF, Bank Dunia dan WTO, maka kedaulatan negara akan selalu terkebiri. Kondisi ini pada gilirannya akan mengakibatkan kedaulatan petani menjadi tereduksi dan kedaulatan pangan nasional menjadi mandul.
Dengan demikian, kedaulatan pangan, kedaulatan petani, dan kedaulatan negara merupakan suatu kesatuan organik. Ketiganya saling mempengaruhi dan saling mendukung. Tegasnya, kebijakan kedaulatan pangan nasional mensyaratkan perwujudan kedaulatan petani dan kedaulatan negara.
Gerakan Kedaulatan Pangan
Kedaulatan pangan pada dasarnya mengutamakan produksi pertanian lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan setiap orang, rumah tangga, masyarakat dan bangsa, dengan menjamin akses petani atas tanah, air, benih, teknologi dan kredit. Kedaulatan pangan adalah dasar bagi kedaulatan bangsa yang mencakup land reform agar petani dapat bertani di tanahnya sendiri, menolak GMO karena benih seharusnya dapat diakses oleh semua orang, memelihara kelestarian sumber air agar dapat digunakan oleh setiap orang sesuai dengan tingkat kebutuhannya, dan mengatur tata niaga pertanian agar adil bagi semua.
Oleh karena itu, gerakan kedaulatan pangan, menurut Henry Saragih selaku Ketua Umum SPI, pada hakekatnya merupakan gerakan sosial yang mampu menyatukan seluruh elemen gerakan: petani, nelayan, masyarakat adat, buruh, perempuan, kaum miskin kota, dan lain-lain. Tentu saja peran pemerintah juga sangat penting dalam gerakan kedaulatan pangan tersebut.
Dalam gerakan kedaulatan pangan tersebut, SPI dan bersama-sama dengan sejumlah elemen gerakan masyarakat sipil lainnya, menyerukan untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Akhirnya Selamat ulang tahun yang ke- 13 untuk SPI. Semoga terus berjuang menegakkan kedaulatan pangan untuk atasi krisis pangan di Indonesia.
*) Penulis adalah Ketua Biro Konsolidasi Organisasi Badan Pelaksana Wilayah (BP)-SPI Yogyakarta.