BERN. Membuat Undang-Undang (UU) di Swiss cukup sulit. Walaupun ada empat pilihan yang tersedia—sebuah UU bisa merupakan usulan dari eksekutif, konsultasi dari negara bagian, debat parlemen, atau referendum rakyat. Walau sulit, UU dan kebijakan publik lain tentunya harus berguna bagi rakyatnya.
Dalam hal ini, Uniterre, organisasi anggota La Via Campesina di Swiss berusaha mengajukan konsep kedaulatan pangan menjadi kebijakan publik.
Memanfaatkan kedatangan Henry Saragih, Koordinator Umum La Via Campesina ke Jenewa untuk urusan Hak Asasi Petani di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uniterre merancang sebuah pertemuan dengan anggota parlemen Swiss. Pertemuan ini dilaksanakan pada Senin (12/03) di Bundeshaus—gedung parlemen Swiss.
Dalam kasus ini, sebuah kaukus anggota parlemen dari lintas partai menerima masukan dari Uniterre dan La Via Campesina—dan apakah sebuah kebijakan kedaulatan pangan mungkin diwujudkan dalam hukum Swiss.
“Kebijakan publik terkait kedaulatan pangan yang kami minta terkait tiga aspek, yakni akses atas tanah dan sumber agraria produktif, proteksi pasar dan harga, serta perlindungan konsumen,” kata Valentina Hemmeler dari Uniterre.
Namun usulan ini dianggap masih terlalu lebar oleh beberapa anggota parlemen. Isabelle Chevalley, anggota parlemen dari Partai Hijau Liberal menyatakan bahwa inisiatif ini akan sulit karena Swiss masih melindungi pertanian industrial.Ia mengusulkan ketiga aspek kedaulatan pangan tersebut dipecah dan dijadikan kebijakan-kebijakan spesifik.
“Ada baiknya juga kita menjaga kaukus untuk kedaulatan pangan ini, dan bertanggung jawab menjaga aspek-aspek tersebut di dalam parlemen,” kata Balthazar Glattli dari Partai Hijau.
Ulrike Minkner dari Uniterre menyampaikan bahwa kedaulatan pangan juga sudah dipraktikkan di berbagai negara.
“Di Eropa, kita membuat inisiatif Nyeleni Eropa—forum kedaulatan pangan berskala internasional yang sebelumnya diadakan di Afrika—karena petani kecil dan buruh tani di Eropa juga membutuhkan perlindungan hak-haknya,” tutur Ulrinke.
Henry Saragih menutup pertemuan dengan menyatakan bahwa Swiss harus berani melindungi petani kecilnya.
“Apa lagi di era krisis finansial, pangan dan iklim seperti sekarang, kedaulatan pangan telah diakui berbagai forum internasional sebagai alternatif prinsip produksi, distribusi dan konsumsi,” ujarnya.
“Di Indonesia, kita merevisi UU Pangan untuk mengadopsi prinsip kedaulatan pangan. Petani juga mengusulkan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,” pungkas Henry yang juga Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) ini.
Anggota parlemen yang akhirnya menamakan diri mereka “Grup Parlemen untuk Kedaulatan Pangan” berjanji bertemu lagi dengan petani Swiss untuk meneruskan inisiatif kedaulatan pangan untuk kebijakan publik. Inisiatif ini juga akan ditransmisikan ke partai-partai progresif lain di parlemen.