Oleh: Henry Saragih *)
Nilai impor pangan rata-rata di negara agraris ini mencapai Rp 11o triliun per tahun. Kebijakan impor pangan ini telah mengantarkan Indonesia ke jurang krisis pangan.
Pangan merupakan komoditas yang “khusus”. Disebut khusus karena merupakan salah satu kebutuhan mendasar manusia. Perlu adanya pengaturan secara khusus dalam distribusi pangan yang seharusnya berbeda dari pengaturan distribusi barang lainnya.
Pengaturan pangan harus di bawah kendali negara karena negara berkewajiban menjamin dan memenuhi salah satu hak dasar rakyat ini. Sayangnya, kondisi tersebut jauh panggang dari api. Kebijakan pangan negeri ini telah diserahkan kepada pasar sehingga fluktuasi harga pangan sulit dikendalikan oleh pemerintah. Akibatnya harga pangan melambung tinggi dan tidak bisa dijangkau oleh masyarakat miskin.
Setali tiga uang dengan nasib aktor utama penyedia pangan, yaitu petani. Kebijakan pertanian tidak menyediakan ruang terhadap kesejahteraan petani sehingga menambah suram masa depan petani.
Dengan rata-rata alih fungsi lahan pertanian sebesar 230.000 hektare per tahun (Kementan, 2007) dan dukungan infrastruktur serta input pertanian yang belum memadai, beban yang dipikul para petani untuk memproduksi pangan yang cukup bagi seluruh rakyat Indonesia sangatlah berat. Belum lagi terjadi perubahan iklim yang ekstrem membuat banyak kegagalan panen dimana-mana.
Selain itu, lemahnya peran negara dalam sistem distribusi membawa konsekuensi pada fluktuasi harga beberapa komoditas strategis yang mengikuti mekanisme pasar dan kemudian sering kali diikuti kelangkaan komoditas pada waktu-waktu tertentu, seperti saat menjelang hari raya.
Hal ini menyulitkan sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama masyarakat berpendapatan rendah yang rata-rata 73 persen pendapatannya sudah habis untuk pemenuhan kebutuhan pangan.
Sementara itu, Bulog yang diharapkan menjadi garda depan dalam menjalankan distribusi dan cadangan pangan tidak bisa diharapkan. Sejak awal pendiriannya, Bulog merupakan salah satu instrumen pelaksana kebijakan pangan nasional. Perannya terus mengalami pasang surut dan fungsi Bulog terus dipersempit sampai akhirnya memberi peluang yang besar bagi swasta untuk mengimpor beras.
Dihapuskannya tanggung jawab penuh lembaga negara tersebut dalam ekspor impor beras pasca-Letter of Intent (LoI) dengan IMF pada 11 September 1998 yang menyebutkan antara lain “…also, for the first time in thirty years, we will allow private traders to import rice” (untuk pertama kalinya dalam 30 tahun, kita akan mengizinkan pedagang swasta mengimpor beras) membuat subsistem distribusi semakin lemah, terutama semenjak semakin terintegrasinya perdagangan pangan nasional dengan pasar internasional, lonjakan tajam harga pangan dunia mengancam Indonesia.
Pemerintah sudah waktunya menerapkan kebijakan berjangka panjang yang mampu secara efektif menekan laju kenaikan harga beras dan bahan pangan pokok lainnya, mengingat tingginya fluktuasi harga pangan yang kerap terjadi.
Untuk itu segera bentuk Kementerian Pangan yang mengkoordinasi seluruh keputusan soal produksi dan distribusi pangan di Indonesia serta memberikan perhatian khusus kepada orang-orang msikin dan yang tidak mampu dalam mengakses pangan. Dengan demikian, dapat dipastikan pangan sampai kepada orang-orang yang tidak memiliki akses terhadap pangan tersebut.
Kemudian menempatkan Bulog menjadi lembaga yanh sangat sentral dalam menampung, mendistribusikan, dan menyimpan produksi pangan dalam negeri dan dalam mengimpor makanan yang terpaksa dilakukan.
Segera mendesak mengaktifkan kembali koperasi-koperasi di pedesaan yang berfungsi mengelola pemasaran produksi-produksi pertanian petani khususnya dalam hal ini pangan. Memberikan peran yang sangat besar kepada organisasi tani dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan distribusi dan pemasaran produk-produk pertanian tersebut.
Dalam upaya meningkatkan produksi, pemerintah jangan menunda-nunda lagi program Pembaruan Agraria yang telah dicanangkan.
================================================================
*Penulis adalah Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Koordinator Umum La Via Campesina. Tulisan ini juga diterbitkan di Harian Sore, Sinar Harapan, Edisi Sabtu-Minggu 13-14 Agustus 2011