JAKARTA. Pada tanggal 31 Januari 2007, pidato Presiden SBY secara luar biasa mencetuskan rencana pelaksanaan pembaruan agraria. Pembaruan agraria (atau reforma agraria) adalah redistribusi dan tata ulang tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Harapannya tentu saja untuk mengubah struktur kepemilikan tanah, air dan kekayaan alam yang tidak adil.
Rata-rata kepemilikan tanah petani kecil (2003) menurun dari 0.26 hektar menjadi hanya 0.17 hektar dalam satu dekade. Jurang kepemilikan tanah juga sangat dalam, 11 persen keluarga ternyata memiliki 45 persen lebih total tanah di Indonesia. Dalam perkebunan sawit, pihak swasta dan negara memiliki 66 persen lebih total dari luasan kebun seluruh nusantara, sementara rakyat hanya sekitar 30 persen saja.
“Fakta ini menunjukkan keadilan sosial dalam kepemilikan tanah di negeri ini seperti terlempar kembali ke era kolonialisme,” jelas Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI). Di sisi lain, petani memang wajar menuntut penataan kembali hak dan akses atas tanah, karena jumlah keluarga tani yang meningkat rata-rata 2.2 persen per tahun. Pada tahun 2008 ada sekitar 28,3 juta keluarga tani. Jumlah tenaga kerja yang terlibat pada sektor pertanian adalah 42,8 juta jiwa (2010) dari keseluruhan angkatan kerja nasional yang mencapai 107,4 juta jiwa. Ini menunjukkan pertanian masih sangat diandalkan sebagai hajat hidup orang banyak.
“Presiden SBY tidak usah ragu lagi untuk membagikan tanah kepada petani gurem dan mereka yang tak punya tanah,” tegas Henry. “Program pembaruan agraria nasional yang dicanangkan seperti menunggu kepemimpinan presiden, karena selama 3 tahun implementasinya tak dirasakan,” tambah dia.
Pemerintahan SBY sejauh ini hanya berkutat pada “pembaruan agraria” yang formal dan sesuai rekomendasi proyek Bank Dunia (1995-2004, Land Administration Project). Di lapangan, program masih berkutat pada sertifikasi, pemetaan, registrasi tanah serta pembebasan tanah untuk proyek investasi dan infrastruktur.
“Presiden, jika mengerti UU Pokok Agraria 1960 dan UUD 1945, harus mengembalikan pembaruan agraria ke jalurnya yang benar,” lanjut Henry. “Program tersebut harus direvitalisasi, dan idealnya dipimpin langsung oleh presiden sebagai fokus kebijakan pemerintah—setidaknya hingga tahun 2014,” ujar Henry.
Redistribusi tanah seluas 9,25 juta hektar dapat membuka jutaan lapangan kerja, menggairahkan ekonomi pedesaan, dan yang paling utama adalah memecahkan masalah kemiskinan. Jika merunut Pasal 8 Perpu No. 56/1960 untuk batas minimum yang dapat menjamin kelangsungan hidup keluarga, maka akan ada potensi lebih dari 4,62 juta keluarga yang akan mendapatkan penghidupan yang layak—disamping untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kedaulatan pangan negeri ini.
Dalam kerangka ini, program pembaruan agraria juga akan berdampak positif pada pengurangan jumlah kelaparan, serta pencapaian target-target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang sejauh ini dikritik hebat.
Bagi petani, hampir mustahil ada cara lain untuk bertani tanpa punya tanah. Peringatan 50 tahun Hari Tani Nasional pada 24 September 2010 ini adalah momentum emas bagi pemerintahan SBY untuk menjalankan pembaruan agraria sejati. Presiden SBY harus membuktikan dengan tegas kepemimpinannya dalam program populer ini—sebagai bukti bahwa pembaruan agraria bukan sekadar gincu manis saat kampanye.
Dalam implementasinya, sangat krusial melibatkan organisasi tani di tingkat nasional. Hal ini untuk memastikan subjek pembaruan agraria yang berhak mendapatkan tanah (beneficiary). Organisasi tani dan masyarakat sipil juga punya pengetahuan dimana tanah-tanah yang cocok untuk pertanian serta mengalami konflik agraria—hal yang juga sangat mendesak untuk diselesaikan dalam pelaksanaan program ini.
SPI dan seluruh anggotanya di seluruh Indonesia akan memperingati Hari Tani Nasional dengan tuntutan utama « Tanah untuk Petani ». Puluhan ribu petani mulai dari Sumatera Utara hingga Nusa Tenggara Timur akan turun ke jalan menuntut hak-hak mereka atas tanah.
“Petani ada di garda depan pembangunan. Memastikan hak-hak mendasar kami terpenuhi berarti juga melaksanakan pembangunan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ,” pungkas Henry.
Kontak lebih lanjut:
Henry Saragih (HP: +62 811 655 668, email: hsaragih@spi.or.id), Achmad Ya’kub (HP: +62 817 712 347, email: ayakub@spi.or.id)
Serikat Petani Indonesia (SPI)
Tel. +62 21 7991890 Fax. +62 21 7993426
https://spi.or.id
Email: spi@spi.or.id