BOGOR. Petani di berbagai daerah di Indonesia kerap menjerit lantaran pupuk urea langka dipasaran. Sesuai hukum pasarnya, ketika pupuk langka pasti dibarengi dengan harga yang melambung tinggi. Seperti musim kemarau yang datang setiap tahun, kelangkaan pupuk dan harga yang mahal terus menghantui petani musim tanam datang.
Namun sebagian kecil petani yang menggunakan pupuk organik tidak risau akan kelangkaan pupuk tersebut. Seperti Jaya, ketika Pembaruan Tani berkunjung pada akhir tahun 2008 lalu, tampak sedang asik menggoyangkan tampah anyaman bambunya yang berisi benih bayam merah.
Begitupun Ukat, seorang petani lainya dengan kepala tertutup caping sedang asik memanen cesim. Tidak jauh dari Ukat, tampak seseorang memanggul tumpukan rumput yang membuat kepalanya tidak tampak dari salah satu sisi. Ia menuju kandang kambing yang berada di bagian belakang lahan tersebut. Itu Amung yang kesehariannya mengurus ternak kambing.
Mereka secara bersama menerapkan petanian organik di atas lahan seluas 2 hektar yang terletak di Desa Cibeureum Kecamatan Dermaga Bogor. Di atas lahan itu Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Pertanian Organik Serikat Petani Indonesia (SPI) berdiri semenjak 19 April 2005.
Cesim, kangkung, bayam merah, katu, daun bawang, juga padi dan ada juga pohon pepaya mereka tanam dilahan tersebut. Dilahan itu juga terdapat kolam ikan, tiga kandang kambing, serta empat buah pondok kayu beratap rumbia.
Di salah satu pondok itu tampak belasan orang berkumpul. Mereka merupakan perwakilan dari SPI Wilayah yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan pertanian organik.
Menurut Putro, seorang staff SPI yang juga pemberi materi dalam pelatihan tersebut, tanaman yang dibudidayakan memang memiliki rotasi jangka pendek dengan penanaman yang bergilir.
“Tanaman berotasi jangka pendek dengan pola tanaman bergilir akan menghindari peledakan hama dan menjaga unsur hara dalam tanah yang dibutuhkan tanaman,” kata alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.
Secara ekonomi, Pusdiklat SPI dikelolah secara koperasi oleh empat keluarga tani. Lahan seluas 2 hektar ini, lanjut Putro, dapat menghasilkan sekitar Rp8-12 juta per bulan penghasilan kotor. Sedangkan penghasilan bersihnya Rp4-5 juta per bulan.
“Untuk pemasaran dilakukan secara langsung, bahkan ada juga yang sudah berlangganan. Selain itu hasil sayur organik itu juga bisa didapat di Jogya Plaza di Bogor,” tuturnya.
Selain memiliki nilai lebih ekonomi, Putro menuturkan, pertanian organik mengembalikan hakikat sosial petani. Karena pertanian organik sangat mendorong para petani untuk bekerja sama. Bertani secara kolektif dalam bertanam dan memproduksi pupuk organik. Dan kebersamaanitu harus dikembalikan menjadi kekuatan petani yang semakin pudar disela penerapan pertanian dengan input kimiawi.
Soal lingkungan, tentu penerapan pertanian organik memiliki kelebihan. Selaian manfat kesehatan untuk petani yang terhinar dari bahan kimia, juga manfaat untuk orang lainnya yang mengkonsumsi hasil pertanian organik tersebut.
Seperti Putro katakan, dengan pengaturan rotasi tanaman pertanian organik akan mengkondisikan tanah memproduksi unsur hara dengan alami, tidak dari input kimiawi, untuk kebutuhan tanaman.
Sehingga tanah tidak hanya menjadi media tanam, dimana tanaman yang tumbuh diatasnya hanya mendapat makan dari input eksternal kimia. Dan fakta menunjukan hampir seluruh lahan pertanian akan kering kerontang retak pecah-pecah ketika menghadapi musim kemarau berkepanjangan.
Keberadaan Pusdiklat SPI di Bogor, dan juga beberapa Pusdiklat SPI lainnya di daerah, dengan tegas meneriakkan perlawanan terhadap sistem pertanian yang menindas, merusak lingkungan, memiskinkan keanekaragaman hayati dan mengesampingkan kearifan lokal.
Demikian pertanian berkelanjutan sejatinya dijalankan. Bukan berkelanjutan ketergantungan terhadap input eksternal dan penguasa pasar.