Oleh: Henry Saragih *)
Pada 24 September tiap tahunnya diperingati dengan sukacita oleh kaum tani Indonesia. Inilah harinya petani Indonesia.
Pada hari itu ditetapkan Undang-Undang N0 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (dikenal dengan UUPA 1960) yang mengatur hak-hak dan kewajiban kaum tani, mengatur hak atas tanah, hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa.
Kelahiran UUPA inilah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional. Penetapannya berdasarkan Keputusan Presiden Soekarno No 169/1963. Ini menandakan bagaimana pentingnya peran dan posisi petani sebagai tulang punggung bangsa.
Sekarang 51 tahun sudah Hari Tani Nasional, di tengah situasi pertanian dan kehidupan di perdesaan yang tidak mengalami kemajuan berarti. Kemiskinan, kelaparan, konflik agraria, serta infrastruktur yang tidak memadai merupakan hal lazim dialami sampai kini.
Petani Indonesia tetap mengharapkan hidup yang lebih baik dan sejahtera. Karena ini secara riil telah tersedia dalam politik agraria UUPA 1960 yang berakar pada kesadaran atas realitas sosio-politik dan sosio-ekonomi rakyat yang sangat tegas ingin menjebol ketidakadilan struktural dalam rangka menyiapkan prakondisi sosial.
Inilah dasar untuk membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Keberanian dan keberpihakan pemerintah adalah kuncinya.
Untuk mengatasi kemiskinan, ketimpangan agraria, dan konflik agraria, pemerintah berjanji mendistribusikan tanah-tanah kepada para petani melalui Program Pembaruan Agraria nasional (PPAN).
Janji tersebut disampaikan saat peresmian program strategis pertanahan yang digagas Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kawasan Berikat Nusantara, Cilincing, Jakarta Utara, Januari 2010.
Untuk kedua kalinya janji tersebut disampaikan pada bulan September 2010 di Istana melalui Staf Khusus Presiden (SKP) Bidang Pangan dan Energi dan SKP bidang Otonomi dan Pembangunan Daerah.
Untuk ketiga kalinya janji diungkapkan pada Oktober dalam peringatan Hari Tani Nasional ke-50 di Istana Bogor. Bahkan menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), saat ini sudah dirumuskan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembaruan Agraria.
Aih-alih menjalankan janji-janji tersebut, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan negara melalui berbagai undang-undang berikut turunannya yang menyimpang dari UUD 1945 Pasal 33 dan UUPA 5 Tahun 1960.
Sebagai contohnya adalah Undang-Undang No 7/2004 tentang Sumber Daya Air yang mengakibatkan privatisasi sumber air, Undang-Undang No 18/2004 tentang Perkebunan yang mengakibatkan ratusan petani dikriminalkan, Perpres 36/2005 dan revisinya Perpres 65/2006 tentang Pencabutan Hak atas Tanah untuk Kepentingan Umum (sekarang sedang dibahas RUU Pengadaan tanah untuk pembangunan), dan Undang-Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Terakhir adalah kebijakan korporatisasi pertanian dan pangan (food estate), yang intinya adalah memberikan ruang dan otoritas besar bagi korporasi besar untuk menguasai lahan pertanian dan produksinya.
Dengan situasi tersebut, demi menata ketimpangan dan ketidakadilan struktur agraria yang terjadi, sangat mendesak bagi Indonesia untuk melaksanakan Pembaruan Agraria yang Sejati.
Ini adalah suatu upaya korektif untuk menata ulang struktur agraria yang timpang, yang memungkinkan eksploitasi manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendikan pada keadilan agraria.
Keadilan agraria yang dimaksud adalah suatu keadaan yang menjamin tidak adanya konsentrasi dalam penguasaan dan pemanfaatan agraria pada segelintir orang.
Kemudian hal ini didukung kebijakan harga pembelian hasil produksi pertanian, tata niaga yang berpihak pada produsen kecil, dan mekanisme keuangan bagi petani. Di samping itu, pembangunan infrastruktur yang mempercepat pembangunan perdesaan dan mendukung pertanian rakyat akan diprioritaskan.
*) Penulis adalah Ketua Umum SPI dan Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional), tulisan ini juga dimuat di Harian Sore Sinar Harapan, Edisi 04 Oktober 2011.