Senin (2/6), La Via Campesina dan berbagai organisasi gerakan rakyat lainnya berkumpul di Roma, Italia untuk meminta pemerintah dari berbagai negara yang sedang mengadakan pertemuan dengan FAO untuk segera menyelesaikan krisis pangan.
Pada Pertemuan Pangan Dunia yang telah lalu yakni tahun 1996, FAO menyebutkan angka kelaparan mencapai 830 juta jiwa. Saat itu, FAO dan pemerintahan di berbagai negara mencanangkan untuk mengurangi angka kelaparan dunia hingga setengahnya pada 2015. Namun hingga saat ini, angka kelaparan malah bertambah menjadi 1,2 Milyar jiwa atau bertambah dua kali lipat.
Hal diatas menunjukkan bahwa FAO dan pemerintahan di berbagai negara salah telah menempuh kebijakan yang keliru dimana penyelesaian persoalan kelaparan diserahkan kepada mekanisme pasar. Dengan sistem pasar bebas yang berlaku saat ini, distribusi pangan menjadi timpang, harga melambung meski sebenarnya produksi pangan dunia meningkat. Hal tersebut dikarenakan, produksi dan distribusi pangan hanya dikuasai segelintir perusahaan multinasional dan berbentuk kartel. Di banyak negara, pemerintah tidak bisa melakukan perlawanan terhadap kerakusan perusahaan-perusahaan multinasional tersebut. Bahkan dengan adanya berbagai kesepakatan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), perusahaan-perusahaan besar ini lebih leluasa untuk mengeksploitasi pangan rakyat untuk keuntungan semata-mata.
Koordinator La Via Campesina, Henry Saragih mengatakan rejim neoliberal sudah membajak pangan rakyat. Petani kecil, buruh tani dan masyarakat adat sudah tidak mempunyai kebebasan untuk mengembangkan pangan lokal. Bahkan negara tidak bisa lagi menjalankan tugasnya untuk melindungi petani kecil dari serangan pangan murah yang dijual dengan harga dumping.
“Kami menolak campur tangan Bank Dunia dan WTO dalam masalah pangan,” kata Henry. Karena selama ini, rejim neoliberal lewat kebijakan pasar bebasnya sudah merusak tatanan pertanian dunia.
“Pasar bebas menyebabkan negara-negara miskin dibanjiri pangan murah, merusak kedaulatan pangan bangsa-bangsa dan menghilangkan hak-hak masyarakat lokal untuk mengembangkan dan menanam pangannya sendiri. Akibatnya pertanian lokal hancur, dan disaat harga pangan global naik, rakyat miskin tidak mampu lagi membeli pangan impor tersebut,” kata Henry.