JAKARTA. Reforma agraria, kedaulatan benih, kedaulatan pangan bisa dimulai dari desa. Hal ini diutarakan Ketua Departemen Politik Hukum dan HAM Badan Pengurus Pusat (BPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Indra Sago di Jakarta (05/10).
Dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa ini Indra Sago menyampaikan masalah yang dihadapi petani di perdesaan saat ini yakni ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah oleh petani. Hal ini menyebabkan jumlah keluarga petani terus menurun.
“Dalam dua tahun pemerintahannya saja Jokowi-JK sudah “mengurangi” jumlah petani sebanyak 2.45 juta jiwa yang mayoritas berasal dari desa,” kata Indra Sago.
“Ini artinya Jokowi-JK sendiri belum melaksanakan nawacitanya,” lanjutnya.
Indra Sago melanjutkan, untuk reforma agraria contohnya, SPI telah mendirikan beberapa kampung reforma agraria yang menjadikan desa sebagai sentranya.
“Kampung reforma agraria ini tentu saja berhasil memakmurkan ekonomi rakyat desa karena kampung reforma agraria yang dibangun petani SPI terdiri atas lahan pertanian untuk berproduksi, perumahan untuk petani, hingga fasilitas umum seperti musholla, lapangan, dan lain sebagainya,” papar Sago.
Selanjutnya untuk kedaulatan benih, konsep desa berdaulat benih yang ada dalam nawacita Jokowi-JK juga belum dijalankan.
“Yang terjadi malah benih dikuasai oleh korporasi, untuk benih lokal sangat sulit syrat-syarat yang ditentukan Kementan. Padahal petani penangkar kita punya keterampilan menangkar benih turun menurun yang mampu melestarikan dan mengembangkan benih-benih lokal,” kata Sago lagi.
Indra Sago menambahkan, untuk kedaulatan pangan, desa memang menjadi kunci utama. Namun yang terjadi, desa seolah pasif dalam memenuhi kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan petani. Desa hanya sekedar urusan administratif.
“Jika petani kecil didukung, disediakan lahan untuk bertani, kebutuhan pangan desa akan terpenuhi dan kedaulatan pangan tercapai,” tambahnya.