JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Anti Utang (KAU), dan Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) menyerukan menteri Kehutanan dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II untuk segera mencabut semua peraturan yang melegalkan implementasi Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Lingkungan (REDD). REDD berbasis skema pasar dan perdagangan karbon di Indonesia. Seruan itu dilontarkan saat aksi di depan Departemen Kehutanan, Rabu (11/11).
Aksi ini juga menyerukan untuk segera melakukan revisi UU No. 41 tentang Kehutanan yang berfokus pada redefinisi hutan yang membedakan secara tegas antara hutan alam dan kebun kayu dan atau perkebunan monokultur, serta memberikan pengakuan secara tegas atas hak dan ruang kelola masyarakat adat/lokal. Di Indonesia, kebutuhan dasar akan pengakuan dan penghormatan hak masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya alam tetap jauh dari prioritas dibanding kepentingan bisnis kuat di industri kayu, bubur kayu, kelapa sawit, dan terakhir bisnis perdagangan karbon. Aksi ini merupakaan rangkaian aksi menghitung mundur 27 hari menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009.
Aksi diikuti sekitar 30 orang mereka berjalan beriringan menuju depan Departemen Kehutanan dengan membawa berbagai perlengkapan aksi. Beberapa peserta aksi menggunakan jubah putih masing-masing bertuliskan, Ruining Ecological Dignity of Developing Countries (REDD), yang berarti bahwa skema REDD hanya merupakan skema penghancuran martabat ekologi negara-negara berkembang oleh negara-negara maju dan mereka memakai topeng kepala negara Annex I. Selain itu, peserta aksi membawa replika berbetuk tangan salah satunya bertuliskan “Don’t trade off our climate” .
Elisha Kartini, Staf Kajian Strategi SPI, menyatakan “Melalui UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Permenhut No. 30 tahun 2009 tentang REDD, dan Permenhut No. 36/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan. Akan membuat masyarakat adat yang tinggal di dalam hutan tersebut selama puluhan tahun akan tergusur”. Ungkap Kartini dalam orasinya.
Lebih lanjut, Wahyu Agung Perdana, Staf Penguatan Organisasi SPI, mengatakan “Merupakan suatu keharusan bagi masyarakat adat untuk ikut serta dalam pengembangan dan negosiasi tentang mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Jika tidak, mereka mungkin akan mendapat rintangan dalam mengakses hutan mereka begitu REDD dilaksanakan”.
Pada kesempatan yang sama Muhammad Arif, Anggota LS-ADI, mengungkapkan Indonesia merupakan negara pertama yang mengembangkan sistem REDD di dunia. Ironisnya, saat ini direncanakan terdapat 26,6 juta hektar lahan di Indonesia yang diperdagangkan dalam mekanisme perdagangan karbon. Dengan nilai uang yang beredar sekitar 6,3 milyar US$ (sekitar Rp 63 triliun). Skema ini menjual murah 26,6 juta hektar hutan alam Indonesia mulai dari tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, dan ruang interaksi sosial, dan entitas masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, hanya seharga Rp. 12,- per meter perseginya.
“Sungguh menyedihkan melihat kenyataan ini”, ungkap Arif di sela-sela aksi tersebut.