JAKARTA. Badan Pusat Statistik mencatat selama Juli 2017 Nilai Tukar Petani ( NTP) sebesar 100.65 atau naik 0.38 persen dibandingkan NTP Bulan Juni yang sebesar 100.53. Kenaikan NTP dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) naik sebesar 0,26 persen lebih besar dari kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) sebesar 0,14 persen.
“Nilai NTP yang 100.65 ini, yang hanya sedikit di atas 100 (nilai impas dari NTP yang didapat dari perbandingan antara pendapatan dengan pengeluaran petani, jika di bawah 100 berarti petani rugi, jika di atas 100 berarti petani untung) berarti petani kita belum sejahtera,” kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih di Jakarta, pagi ini (04/08).
Henry melanjutkan, faktanya, nilai NTP tanaman pangan Juli 2017 adalah 97.46, masih di bawah 100, walaupun ada tren kenaikan sejak Maret 2017. BPS menyatakan memang ada penurunan pendapatan petani tanaman padi sebesar 0.01%, karena adanya penurunan harga Gabah Kering Panen (GKG) dan Gabah Kering Giling ( GKG). Penurunan ini bisa juga menunjukkan adanya ketidakberesan tataniaga beras dan tersambung dengan kasus penggerebakan beras di PT.IBU oleh Satgas Pangan. Ketidakberesan inilah yang membuat NTP Tanaman Pangan stabil di bawah standar kesejahteraan petani atau dibawah NTP 100. (lihat grafik perkembangan NTP di bawah).
“Beras sebagai pangan pokok strategis dan politik sudah seharusnya dikelola lebih baik tataniaganya oleh Bulog dan bahkan oleh lembaga pangan yang juga sudah seharusnya dibentuk sebagai mandat dari UU Pangan no.18 2012,” tegas Henry.
Tukiyem, petani SPI dari Jawa Timur menyampaikan, untuk panen musim gadu ini (Juli-Agustus 2017) petani mengalami penurunan produksi menjadi hanya 3,5 ton rata-rata per hektar.
“Walaupun demikian harga yang diterima petani cukup stabil, untuk gabah kering panen dihargai Rp. 3.700/kg, gabah kering giling dihargai Rp. 4.800/kg dan beras dihargai Rp. 7.400/kg,” imbuhnya.
Henry melanjutkan, nasib petani perkebunan tidak jauh berbeda dengan petani tanaman pangan. Bulan ini NTP perkebunan rakyat mengalami penurunan ke 97.09, dan tentunya masih di bawah 100.
“Dalam Hal ini BPS mencatat Kelapa sawit menjadi kontributor penurunan NTP bulan ini. Kecenderungan penurunan dan selalu dibawah batas indeks kesejahteraan petani menjadi hal yang tragis karena hasil perkebunan menjadi andalan devisa negara, terkhusus kelapa sawit,” paparnya.
“Yang bulan ini naik adalah NTP tanaman hortikultura, yang mengalami tren positif sejak bulan Maret hingga Juli ini, dengan kontribusi tinggi dari penjualan bawang merah dan bawang daun,” lanjutnya.
Kemiskinan dan NTP
Sementara itu, BPS merilis angka kemiskinan Maret 2017 pada bulan Juli yang lalu. Laporan terbaru tersebut memperlihatkan terjadinya kenaikan jumlah penduduk miskin untuk kurun waktu September 2016 – Maret 2017, dari angka 27.76 juta jiwa ke 27,77 juta jiwa. Meskipun dari persentase, angkanya menurun dari 10.70 % ke 10.64% (lihat grafik di bawah).
BPS juga mencatat kenaikan kemiskinan terjadi di perkotaan, meski secara jumlah angka kemiskinan di perdesaan lebih tinggi. Selama periode September 2016–Maret 2017, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik sebanyak 188,19 ribu orang (dari 10,49 juta orang pada September 2016 menjadi 10,67 juta orang pada Maret 2017). Sementara, di daerah perdesaan turun sebanyak 181,29 ribu orang (dari 17,28 juta orang pada September 2016 menjadi 17,10 juta orang pada Maret 2017).
Henry menjelaskan, bila dilihat dari grafik perkembangan NTP, kemiskinan perdesaan bisa dikatakan meningkat walau NTP Juli 2017 naik. Dengan demikian, data kemiskinan terbaru tersebut bisa juga menunjukkan hengkangnya keluarga petani dari tanah pertanian mereka menuju perkotaan.
“Hengkang karena tata niaga pertanian yang tidak adil, dan sempitnya lahan-lahan pertanian mereka, sehingga berapa pun hasil penjualan tidak bisa mengangkat mereka dari kemiskinan,” imbuhnya.
Henry menambahkan, untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di perdesaan, tidak bisa tidak, adalah dengan mempercepat reforma agraria yang sejati, redistribusi lahan untuk para petani tak bertanah dan mereka yang hanya memiliki lahan di bawah 0,3 hektar.
“Dengan reforma agraria, maka kedaulatan pangan bisa tercapai, kemiskinan pun bisa terurai, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pun terwujud,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668