JAKARTA. Indonesia darurat impor pangan. Produsen dan konsumen terus meminta dukungan yang tepat agar produksi pangan dan pertanian kita bisa berkembang. Sementara, subsidi yang harusnya membantu menyejahterakan petani tak jatuh ke tangan yang membutuhkan.
Pokok-pokok pikiran inilah yang mendasari diadakannya sebuah dialog nasional untuk kedaulatan pangan, dengan tema khusus “Kebijakan Impor dan Subsidi yang Tepat”. Dialog nasional ini adalah inisiatif Seknas Jokowi, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Forum Alumni IPB dan Yayasan Akatiga. Dialog diadakan di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, pada Rabu (8/10). Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, didaulat memberikan masukan untuk tema penting ini.
“(Kondisi) Petani Indonesia saat ini cukup optimis, terutama karena kita mau bekerja keras membangun kedaulatan pangan bangsa, juga karena banyak peraturan yang mendukung,” ujar Henry.
Ia menyebut diantaranya pembatasan impor pangan dalam UU Pangan No. 18/2012, tentang aturan konversi lahan yang seharusnya menjadi lebih sulit di UU No. 41/2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan—serta tentunya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang eksplisit mengakui hak asasi petani dan telah disahkan pada tahun 2013 lalu.
“Masalahnya tinggal implementasi, karena 10 tahun terakhir petani kita menderita—rumah tangga petani menyusut hingga 5 juta KK,” tegas dia.
Pihak pengusaha yang diwakili APINDO menyarankan mainstreaming pertanian. Franky Sibarani menyatakan bahwa pemerintah Indonesia harus kembali mengutamakan pertanian dalam kebijakan, sehingga menjadi dasar kerja bersama kementerian di pemerintahan selanjutnya.
“Koordinasi antarkementerian adalah kunci,” ujar dia.
Franky juga memberikan pandangan terhadap dukungan bagi pengusaha pertanian, misalnya pada industri gula.
“Sementara kapasitas pabrik diperbaiki untuk mencapai swasembada, kita harus perhatikan juga harga gula untuk industri–agar produk pangan olahan Indonesia bisa bersaing,” imbuh Ketua APINDO ini.
Sementara itu, Didin Damanhuri, pengamat pertanian, menyatakan Indonesia harus bermimpi kembali menjadi negara industri berbasis pertanian.
“Lepas landas menjadi negara industri yang digaungkan dari jaman Soeharto itu ya harusnya kita ke industri pangan dan pertanian,” ujarnya.
Untuk itu Henry menyatakan bahwa kebijakan pro petani di pemerintahan Jokowi-JK tak bisa ditawar lagi.
“Mulai redistribusi tanah 9,6 juta hektar untuk 4 jutaan KK tani, infrastruktur, pembangunan pasar tradisional-modern pertanian, hingga pembiayaan bank khusus petani harus segera dilaksanakan,” ujar Henry.
Dialog nasional ini juga memberi sinyal untuk pemerintahan Jokowi-JK agar mengevaluasi impor dan peraturan perdagangan bebas terkait pangan dan pertanian. Selain membatasi impor demi menggairahkan pasar dan harga domestik, kebijakan ini perlu untuk secara gradual menaikkan daya saing petani—baik kapasitas maupun peningkatan mutu produk.
“Kita kan masih punya aturan safeguard untuk impor pangan, serta masih bisa meningkatkan subsidi petani di APBN,” pungkas Henry.