JAKARTA. “Tanpa ada arus besar perubahan sejarah di Indonesia, sedikit riskan untuk mewujudkan reforma agraria yang sejati,” hal ini disampaikan oleh Revrisond Baswir, deklarator AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia) dalam diskusi internal yang dilaksanakan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) di Gedung YTKI, Jakarta, kemarin (09/02).
Revisrond menjelaskan bahwa reforma agraria tidak bisa dilihat secara sektoral, harus menjadi bagian dari perjuangan pembaruan sejarah. Dalam pemaparannya, dia mengungkapkan bahwa cara paling mudah untuk memahami reforma agraria adalah dengan menarik kebelakang dulu bagaimana dan kapan terjadi perubahan kepemilikan lahan di Indonesia.
Dalam sejarah kerajaan-kerajaan agraris tidak ada konteks kepemilikan individu, lahan adalah lahan kolektif. Dimana rakyat kerajaan adalah orang-orang yg diberi hak untuk mengelola lahan dgn memberikan upeti. Kepemilikan lahan yang bersifat privat justru dikenalkan sejak zaman kolonial, dimana pelan-pelan masyarakat Indonesia diperkenalkan dengan konsep lahan sebagai milik privat. Perampasan lahan sudah dimulai sejak nusantara mulai dijajah.
“Cita-cita proklamasi Indonesia justru ingin mengubah paradigma ini, pasal 33 UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Konteks terbitnya UUPA itu untuk mengoreksi sejarah kepemilikan lahan yang sudah dirombak oleh kolonial,” papar Revrisond yang menjadi narasumber dalam diskusi kali ini.
Dia melanjutkan bahwa selanjutnya dalam rezim yg berkuasa di Indonesia pasca tahun 1965, adalah rezim yang dikendalikan oleh kekuatan modal internasional. Indonesia sepakat membayar hutang perang terhadap Belanda, masuknya Indonesia dalam IMF, ADB, dan lahirnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing.
“Sampai sekarang pun warisan dari pasca tahun 1965 masih dipegang teguh oleh pemerintahan Indonesia saat ini. Otonomi daerah yang pada awalnya disambut gembira oleh banyak pihak justru memberikan keleluasaan pada kepala daerah utk membagi-bagi lahannya kepada perusahaan pemodal (asing). Dari data BUMN perkebunan sawit saat ini hanya tinggal 7,8% yang menjadi milik mereka. Jadi untuk mengubah ini semua memang benar-benar diperlukan pergerakan yang mampu membuat arus perubahan besar di Indonesia,” tambah pria yang juga dosen Universitas Gajah Mada (UGM) ini.
Fenomena Melawan Perampasan Tanah
Indra Sakti Lubis, koordinator La Via Campesina (Gerakan Petani Sedunia) regional Asia Selatan menjelaskan mengenai fenomena perampasan tanah yang semakin marak terjadi di berbagai belahan dunia.
Menurutnya, fenomena global ini bermula dari krisis pangan internasional yg terjadi beberapa tahun lalu. Hal ini yang menjadi alasan untuk mengembangkan lahan-lahan luas untuk bahan pangan, dan juga krisis energi yang mendorong pengembangan energi alternatif yang berasala dari tanaman (agrofuel). Hal inilah yang menjadi legitimasi perampasan lahan-lahan petani di Indonesia ataupun di negara-negara berkembang lainnya.
Di sisi lain, penggunaan konsumsi energi di negara-negara industri malah cenderung terus dibiarkan. Sementara mereka tidak punya kekayaan alam untuk bisa memenuhi kebutuhan domestik, mereka pun mengincar negara-negara dengan kekayaan alam besar seperti Indonesia.
“Negara-negara industri pun melihat Indonesia dan negara-negara berkembang dengan jumlah penduduk besar sebagai pasar yang potensial. Pelaku perampasan lahan ini perusaan trannasional, perusahaan-perusahaan nasional dan pemerintah itu sendiri,” ungkap Indra.
Agus Ruli Ardiansyah, Ketua Departemen Politik Hukum dan Keamanan SPI menyampaikan bahwa perjuangan melawan perampasan tanah ini bukanlah hal baru bagi SPI, karena 80 – 90 persen basis massa SPI adakah dari basis perjuangan tanah. Ruli juga mengemukakan, perjuangan melawan perampasan tanah ini juga bagian dari perjuangan menegakkan reforma agraria sejati di Indonesia.
“Di lapangan kita perlu aktif melakukan pendataan objek-objek land reform, yang bisa kita perjuangkan di lapangan dengan lebih sistematis, dan juga mendesak mengenai penyelesaian konflik agraria dari tingkat basis hingga nasional,” ungkap Ruli.
Sementara itu, diskusi yang bertemakan “Pembaruan Agraria Untuk Indonesia Hari Ini” dihadiri oleh puluhan peserta yang merupakan anggota Majelis Nasional Petani (MNP) dan Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) beserta sekretarisnya dari seluruh provinsi di Indonesia. Diskusi ini sendiri dibuka oleh Ketua Umum SPI, Henry Saragih.