BRUSSELS. Tahun ini Forum Masyarakat Asia dan Eropa (Asia Europe People’s Forum-AEPF) memasuki tahun ke delapan penyelenggaraan sejak dimulai di Bangkok tahun 1996, sejalan dengan dimulainya pertemuan Asia Eropa (Asia Europe Meeting-ASEM) pertama. Jika ASEM merupakan pertemuan para pemimpin negara-negara Asia dan Eropa untuk membahas kerjasama politik, sosial ekonomi dan budaya di kedua region ini, maka AEPF merupakan forum pertemuan gerakan sosial, masyarakat sipil, aktivis dan akademisi dari kedua region yang mencoba melihat dan memberikan masukan bagi permasalahan politik, sosial ekonomi dan budaya dari kacamata yang berbeda. Tujuan diselenggarakannya AEPF ini agar masyarakat Asia Eropa dapat ikut terlibat dan memberikan rekomendasi bagi perundingan yang berlangsung di dalam ASEM.
AEPF tahun ini diselenggarakan di Brussels, Belgia dari tanggal 2-5 Oktober 2010, 2 hari sebelum dimulainya pertemuan ASEM. Forum ini dihadiri oleh lebih dari 250 perwakilan organisasi masyarakat, gerakan sipil, NGOs, aktivis dan akademisi dari kedua region. Tema utama AEPF ke-8 ini ialah “Menantang dan Menghapuskan Kekuatan Korporat: Membangun Negara dari dan untuk Rakyat”. Tema ini dipilih melihat semakin besarnya dominasi korporat dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat, bahkan menentukan berbagai kebijakan domestik, regional maupun internasional. Dari tema utama ini, terdapat empat topik besar yang menjadi fokus pembahasan selama forum ini, yaitu Perdagangan dan Investasi, Kelayakan Kerja dan Perlindungan Sosial, Kedaulatan Pangan dan Perubahan Iklim yang terkait dengan rencana perluasan perdagangan bebas di kedua kawasan ini.
Dalam forum ini, Serikat Petani Indonesia (SPI) diwakili oleh Mae Azhar Ketua Cabang SPI Cirebon dan Elisha Kartini staf Departemen Kajian Strategis Nasional SPI. Mereka mendapat kesempatan untuk menyampaikan dampak perluasan perdagangan bebas di kedua kawasan ini yang dapat mengancam kedaulatan pangan dan meningkatkan konflik agraria dengan meluasnya dominasi industri agribisnis.
“Melalui forum ini semakin disadari bahwa praktek perampasan tanah dan konflik agraria meningkat di sejumlah negara di Asia selain Indonesia, India, Kamboja, Philipina, Thailand juga mengalami hal serupa. Sementara itu di Eropa jumlah petani terus berkurang digantikan oleh industri agribisnis yang semakin besar” ucap Kartini.
Pesatnya perluasan perkebunan monokultur, khususnya kelapa sawit di Indonesia yang menyebabkan peningkatan konflik agraria juga disampaikan di hadapan Perdana Menteri Belgia Yves Leterme dan Kepala Direktorat Jenderal Pertanian Komisi Uni Eropa Leonard Mizzi.
“Atas dasar itulah maka dalam rekomendasi yang disampaikan di ASEM forum masyarakat Asia Eropa ini mendorong pemerintah Asia dan Eropa untuk segera mengambil tindakan yang dibutuhkan untuk menghentikan perampasan dan akusisi tanah secara paksa, menghentikan promosi produksi dan pemanfaatan industri agrofuel, dan mengambil tindakan untuk menghentikan spekulasi harga bahan pangan secara global” ungkap Mae Azhar.
Selain mengikuti pertemuan AEPF ke-8 ini, SPI bersama 120 delegasi organisasi masyarakat dan NGO juga mengikuti Dengar Pendapat Terbuka dengan tema “Beyond Free Trade: Alernative for EU-Asia Relations?” dengan Parlemen Uni Eropa pada hari terakhir pertemuan yang difasilitasi oleh anggota parlemen dari kelompok European United Left dan Nordic Green Left.
Dalam dengar pendapat tersebut para delegasi masyarakat sipil menyoroti berbagai kebijakan Uni Eropa yang mempengaruhi kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya secara global dan mendesak parlemen untuk mengawasi dan mencabut kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Komisi Uni Eropa dan negara-negara anggota yang dianggap merugikan kehidupan masyarakat negara-negara berkembang, secara khusus di Asia.#