Neoliberal membonceng pertemuan Cairns Group untuk muluskan liberalisasi sektor pertanian
Belum lama ini pasangan capres-cawapres dari pemerintahan berkuasa menepis tuduhan bahwa dirinya menganut paham ekonomi neoliberal. Namun fakta berbicara lain, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dengan semangat menggebu mencoba menghidupkan kembali upaya liberalisasi sektor pertanian yang sempat terhenti dalam perundingan-perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Lewat pertemuan Cairns ke-33 yang diadakan di Bali 7-9 Juni, Mari dengan tegas menyatakan akan kembali menghidupkan kembali putaran Doha yang sempat mandek karena terjadi kemandekan dalam perundingan pertanian. Demikian paparan Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), di Jakarta (7/6).
Inisiatif Indonesia untuk menyelenggarakan pertemuan Kelompok Cairns yang menyatakan perang terhadap proteksionisme, mengusung pengurangan subsidi dan meneruskan liberalisasi sektor pertanian nota bene adalah resep para ekonom neoliberal. Terlihat jelas dari sikap WTO yang menyokong penuh pertemuan itu. “Walaupun ditambah dengan embel-embel perdagangan adil, itu hanya sebatas jargon saja. Tidak masuk akal mewujudkan perdagangan yang adil dalam WTO, dimana pengambilan keputusannya tidak demokratis dan orientasinya sangat neoliberal,” jelas Henry.
Menurut Henry, liberalisasi pasar pertanian dalam prakteknya menindas petani kecil. Sebagai contoh, belum lama ini peternak susu menjerit karena industri pengolahan susu memilih menurunkan harga beli susu di tingkat petani karena harga susu di pasar dunia lebih murah. Kemudian para petani bawang di Brebes harus rela membuang hasil panennya, karena harga bawang jatuh diakibatkan datangnya bawang impor dari Filipina. Dan juga para petani tebu rakyat yang mengeluh turunnya harga pembelian pabrik gula karena membajirnya gula rafinasi impor. Dengan kata lain, kehidupan petani kecil ditentukan oleh segelintir spekulan yang bermain di pasar global. Satu-satunya pihak di Indonesia yang menikmati keuntungan dari pasar bebas adalah pengelola perkebunan. Dimana produk-produk perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan teh dengan bebas bisa memasuki negara-negara anggota WTO manapun. Hanya saja patut kita ingat bahwa produk-produk perkebunan tersebut dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar, bukan oleh petani. Jadi, sangat jelas disini bahwa yang menikmati pasar bebas adalah perusahaan-perusahaan perkebunan bukan petani.
Henry juga memandang, liberalisasi pertanian adalah salah satu penyebab krisis pangan global. Apa yang akan dilakukan Kelompok Cairns dalam upaya menghidupkan kembali perundingan WTO tidak akan menjadi solusi bagi krisis global saat ini. “Orientasi ekspor dan pembukaan pasar produk pertanian adalah skema neoliberal, dan akan menghancurkan rakyat kecil,” tegas Henry.
Ditengarai, pertemuan Kelompok Cairns ke-33 di Bali hanya akan mendorong agenda Amerika Serikat (AS) untuk melanjutkan kembali putaran Doha. Pemerintah Indonesia harus mewaspadai dan bersikap lebih kritis terhadap tujuan ini. Karena AS adalah salah satu negara yang terbesar menyubsidi perusahaan transnasional di bidang pertanian, tercatat sekurangnya 58 milyar USD per tahun dikucurkan untuk subsidi via skema Overall Trade-distorting Domestic Support (OTDS) dan Green Box di dalam WTO. Hampir keseluruhan subsidi ini akan menjadi instrumen pelindung perusahaan transnasional di bidang pertanian dan akhirnya berujung pada dumping produk pertanian ke pasar internasional yang notabene terus berlangsung menghancurkan petani kecil dan pasar domestik. Hal ini menerangkan bahwa subsidi pertanian yang dilaksanakan di dalam mekanisme WTO, bukanlah perlindungan terhadap petani kecil, maupun pasar domestik. “Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus menuntut agar WTO dikeluarkan dari pertanian, karena pertanian dan pangan bukan hanya sekadar komoditas ekonomi saja, namun menyangkut juga sistem sosial, budaya dan pemenuhan hak asasi manusia,” tegas Henry.
Terakhir, Henry menegaskan perang melawan proteksionisme yang akan menjadi pesan dalam pertemuan ini juga tidak substansial. Karena subsidi atau proteksi bukanlah musuh dalam kebijakan perekonomian. Esensinya tergantung kepada seberapa banyak subsidi atau proteksi tersebut diberikan, siapa yang mendapatkannya, dan apa yang diberikan olehnya. Subsidi yang dibayarkan kepada perusahaan transnasional di negara maju, yang berakhir pada dumping dan kehancuran kehidupan pertanian di negara miskin dan berkembang adalah buruk. Subsidi atau proteksi yang benar adalah yang diberikan kepada petani kecil untuk mendukung kegiatan ekonominya, menyokong pembangunan pedesaan, mempromosikan konservasi lahan pertanian, dan membangun pasar domestik. Hal ini harus menjadi catatan penting bagi pemerintah Indonesia untuk menegakkan kedaulatan pangan dan ekonomi kerakyatan, bukan neoliberalisme!
Narasumber:
Henry Saragih (Ketua Umum SPI) 0816 3144441
==========
SERIKAT PETANI INDONESIA (SPI)
Jl. Mampang Prapatan XIV, No.5 Jakarta Selatan 12790
Telp. (021)7991890 Fax. (021)7993426
www.spi.or.id