Solidaritas SPI untuk Salim Kancil, Pejuang Tani Asal Lumajang

JAKARTA. Bumi pertiwi kembali menangis. Salah seorang putra terbaiknya, Salim Kancil, petani asal Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur dibunuh dengan sadis pada 26 September 2015. Pada hari yang naas itu, Salim Kancil sedang menggendong cucunya yang baru berusia 5 tahun, sebelum segerombolan orang datang dan menyerangnya di depan rumahnya. Beruntung ia masih sempat menyelamatkan cucunya ke dalam rumahnya. Semasa hidupnya, Salim aktif menolak tambang pasir di pantai dekat rumahnya. Salim tak sendiri, warga satu kecamatan juga menentangnya.

Salim diduga dihabisi dengan sadis oleh 40 orang yang tergabung dalam Tim 12, pengelola tambang pasir di desa tempat tinggalnya. Tim ini berjumlah sekitar 40 orang lebih, dan dipercaya merupakan tim sukses kepala desa dalam pilkades terakhir. Mereka belakangan juga diduga mengirimkan pesan ancaman kepada warga pada 8-9 September lalu. Isi pesan ancaman terkait aksi warga yang menentang penambangan pasir di Watu Pacak, Desa Selok Awar-Awar. Protes warga ini sudah berlangsung sejak setahun yang lalu, karena penambangan pasir dianggap merusak pertanian dan ekosistem sekitar. Akibat pesan ancaman ini, warga melaporkannya kepada Kepolisian Sektor Pasirian, yang kemudian diteruskan ke Kepolisian Resor Lumajang.

Salim dibunuh dengan sangat tidak manusiawi. Ia diseret, disetrum, digergaji, hingga dipukul kepalanya dengan batu besar.

Menyikapi hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengutuk keras pembunuhan atas Salim Kancil.

“Bertani, menyelamatkan lingkungan, menolak tambang, malah dibunuh. Solidaritas penuh untuk Salim Kancil,” kata Henry Saragih di Jakarta sore tadi (29/09).

Henry menyampaikan, Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) mendesak pihak kepolisian Republik Indonesia untuk mengusut tuntas kasus ini, menangkap pelaku, dan dalang pembunuhan keji ini.

“Negara harus hadir dan mengungkap pembunuhan atas Salim Kancil, petani penyedia pangan, penjaga lingkungan, yang justru dihilangkan keberadaannya. Nyawa petani ditukar dengan tambang pasir, ini sangat miris,” tegasnya.

Henry melanjutkan, DPP SPI juga meminta kepada Komnas HAM untuk menyelidiki kasus dengan membentuk tim investigasi khusus.

“Yang paling utama adalah pemerintah harus segera melaksanakan pembaruan agraria, melakukan redistribusi 9 juta hektar lahan untuk petani kecil, agar konflik-konflik berdarah seperti ini tidak terulang kembali di masa depan,” lanjutnya.

Henry meneruskan, petani butuh jaminan keamanan untuk kehidupannya, untuk menegakkan kedaulatan pangan–menyediakan makanan ke piring-piring kita.

“Ini jelas adalah pelanggaran hak asasi petani. Negara membiarkan nyawa Salim Kancil terancam dan hilang. Padahal petani dan warga sekitar sudah melaporkan ancaman pelanggaran ini beberapa minggu sebelumnya,” sambungnya.

“Kejadian ini bukan yang pertama, dan pasti bukan yang terakhir. Selama hak atas tanah belum diredistribusi ke petani, selama pemerintah–terutama pemerintah daerah–masih mengutamakan modal tambang dan perkebunan, konflik agraria macam di Tulungagung akan terus ada,” tambah Henry.

 

ARTIKEL TERKAIT
sertifikasi lahan bukan reforma agraria Sertifikasi Lahan Bukan Reforma Agraria Sejati
NTP Perkebunan Terus Turun, Perlu Ada Moratorium Pengembanga...
Saat Peringati Maulid, Petani Ogan Ilir Dikriminalisasi
Berdayakan Lumbung Pangan Tradisional Sebagai Cadangan Panga...
1 KOMENTAR
  1. dpw spi riau berkata:

    Save petani, tidak ada lahan petani tidak ada kedaulatan pangan…

BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU