Nilai Tukar Petani Naik dan Deflasi di Bulan Agustus: Lesu, Hemat Belanja Untuk Melanjutkan Produksi dan Kehidupan

Hamparan lahan pertanian di Caringin, Sukabumi

Hamparan lahan pertanian di Caringin, Sukabumi

JAKARTA. Selama Agustus 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) sebesar 101.6 atau naik 0.94 persen dibandingkan NTP Bulan Juli yang sebesar 100.65. Kenaikan ini disebabkan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) naik sebesar 0,92 persen. Jumlah ini lebih besar dibandingkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) yang turun sebesar 0,02 persen. Kenaikan NTP Pertanian dan indeks yang diterima (it) dipengaruhi oleh kenaikan NTP semua sub-sektor pertanian, di antaranya sub-sektor tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan rakyat (lihat grafik di bawah).

Sementara penurunan indeks yang dibayar dipengaruhi oleh turunnya indeks kelompok konsumsi rumah tangga sebesar 0,12 persen. Besarnya yang sama dengan deflasi pedesaan bulan Agustus. Sebaliknya indeks kelompok Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) naik sebesar 0,14 persen.

Menurut BPS, dalam hal terjadi penurunan belanja konsumsi di Keluarga petani, terkhusus belanja bahan makanan, seperti bawang merah dan bawang putih – karena bagaimanapun petani juga konsumen bahan pangan. Sementara pada saat yang sama terjadi peningkatan pengeluaran untuk melanjutkan produksi.

“Hal ini bisa diartikan juga bahwa petani melakukan penghematan belanja konsumsi demi  tambahan modal produksi,” kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih di Jakarta pagi ini (13/09).

Sementara itu, NTP tanaman pangan memang mengalami kenaikan, karena indeks yang diterima atau tingkat penjualan petani tanaman padi dan palawija juga meningkat. BPS mencatat  selama Agustus 2017, rata-rata harga GKP di tingkat petani Rp4.509,00 per kg atau naik 0,58 persen. Sementara itu harga di tingkat penggilingan Rp 4.591,00 per kg atau naik 0,48 persen dibandingkan harga gabah kualitas yang sama pada Juli 2017. Rata-rata harga GKG di petani Rp 5.471,00 per kg atau naik 0,24 persen, dan di tingkat penggilingan Rp 5.579,00 per kg atau naik 0,52 persen. Harga gabah kualitas rendah di tingkat petani Rp 4.013,00 per kg atau naik 2,67 persen, dan di tingkat penggilingan Rp 4.104,00 per kg atau naik 2,88 persen.

Demikian  pula BPS mencatat pada Agustus 2017 rata-rata harga beras kualitas premium di penggilingan sebesar Rp 9.437,00 per kg, naik sebesar 0,57 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Rata-rata harga beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp 8.823,00 per kg, naik sebesar 0,91 persen. Sedangkan rata-rata harga beras kualitas rendah di penggilingan sebesar Rp8.436,00 per kg, naik sebesar 0,94 persen.

Namun untuk penjualan di pasar, harga penjualan beras harus mengacu kepada Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Pemerintah, yakni sebesar Rp 9.450 per kg untuk beras premum dan Rp 12.800 per kg untuk beras premium.

ntp 09

Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, dengan HET tersebut, petani kembali rentan mendapatkan harga gabah dan beras yang rendah dari pedagang beras ( pembeli pertama), meskipun sudah ada HPP.

“Hal yang sangat disayangkan juga petani tidak dilibatkan dalam rapat penentuan HET tersebut di Kementerian Perdagangan. Pemerintah juga perlu memotong rantai distribusi beras yang panjang dengan menghidupkan kembali koperasi di desa,” ungkapnya.

Henry menegaskan, meski demikian, NTP pangan masih belum melewati batas minimum indeks kesejahteraan (NTP=100), sama seperti NTP perkebunan yang masih di bawah 100. Sementara perkebunan masih menjadi andalan pemerintah untuk mendapatkan devisa dari penjualan ekspornya.

“Karena itu pula Presiden Jokowi dalam pidatonya di IPB (Institut Pertanian Bogor) menantang sarjana pertanian untuk menaikkan NTP atau lebih jauh lagi menciptakan harapan kesejahteraan hidup dari sektor pertanian. sebagaimana yang diketahui target NTP pada akhir pemerintahan Jokowi sebesar 103,99,” tegasnya.

Henry menambahkan, hal tersebut tentunya tidak mudah tentunya, karena target NTP sebesar itu haruslah dicapai melalui tahapan-tahapan.

“Di antaranya reforma agraria melalui distribusi lahan, implementasi agroekologi berikut dengan penguasaan dan pengontrolan benih petani dan juga pengaktifan koperasi-koperasi petani untuk mendistiribusikan hasil-hasil pertanian, mulai dari produk primer dan sekunder, sehingga petani menikmati nilai tambah produk pertanian mereka,” tambahnya.

Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI, 0811 655 668

ARTIKEL TERKAIT
SPI Yogyakarta Selenggarakan Pendidikan Agroekologi di Slema...
Hanya mengabulkan sebagian dari gugatan Judicial Review, MK mengecewakan rakyat Hanya mengabulkan sebagian dari gugatan Judicial Review, MK ...
Sumatera Barat Terancam Krisis Pangan
Kebijakan Pertanian Pemerintah Salah Arah Kebijakan Pertanian Pemerintah Salah Arah
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU