NTP Awal Tahun 2015, Hortikultura Tergelincir, Perkebunan Rakyat Makin Terpuruk, Tanaman Pangan Bernafas Lega

JAKARTA. Pada bulan Januari 2015, Nilai Tukar Petani (NTP) tanaman Hortikultura turun sebesar 0,43 % dari 102,48 ke 102,40.Demikian BPS melaporkan perkembangan NTP terakhir pada hari Senin (2/2/15). Penurunan NTP awal tahun tersebut kembali disebabkan oleh turunnya harga cabe merah dan cabe rawit – merujuk pada Kementerian perdagangan pada bulan Januari harga cabe merah biasa dan keriting menurun dari Rp 60.000 hingga Rp 28.000

BPS menyatakan indeks yang diterima oleh petani hortikultura dari hasil penjualan hasil pertaniannya sebesar turun 0,43 %, sementara indeks yang harus dibayar oleh petani hanya turun sebesar 0,02 %. Meskipun terjadi penurunan atau deflasi, juga mungkin disebabkan oleh penurunan harga BBM pada Januari, namun masih terjadi kenaikan harga atau inflasi dari komponen bahan makanan. Tentu saja hal ini tetap menjadi beban bagi petani yang juga konsumen bahan makanan, baik yang segar maupun olahan.

NTP_hortikultura_Januari 2015

Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), secara umum perkembangan usaha tani hortikultura menunjukkan hasil positif bagi petani. Justru karena itu pula usaha tani Hortikultura juga menjadi lirikan bagi investor, terkhusus investor asing, meskipun UU Hortikultura membatasi investasi hingga 30 %.

“Sayangnya lirikan tersebut menarik hati pemerintah, dalam ini BKPM, sehingga berniat untuk membuat Perpu agar investasi di sub-sektor Hortikultura bisa lebih besar lagi. Tentu hal tersebut menjadi peringatan bagi Presiden Jokowi dan menteri-menterinya agar ingat dengan Nawacita, terkhusus mengenai kedaulatan pangan,” papar Henry dari Jenewa, Swiss pagi ini (04/02).

Sementara itu, petani perkebunan rakyat ternyata masih mendapatkan nasib yang tidak baik pada awal tahun 2015. Setelah terpuruk pada angka 98,03, NTP awal tahun turun lagi menjadi 98,02. Nilai tersebut di bawah batas kesejahteraan petani yakni 100, sementara sektor perkebunan menjadi andalah pemerintah untuk mendapatkan devisa melalui ekspor. Tanaman perkebunan yang terkait dengan penurunan NTP tersebut adalah kakao dan Kopi, komoditas unggulan. Penurunan pengeluaran baik konsumsi rumah tangga maupun biaya produksi pada satu sisi adalah positif, namun sayangnya diikuti pula dengan penurunan pendapatan dari hasil penjualan kakao dan kopi pada sisi yang lain.

NTP_Perkebunan_Januari 2015

Tentu hal yang sangat menyedihkan karena petani kakao dan kopi tidak mendapat perlindungan. Sementara banyak perusahaan besar bermain dalam sektor ini karena pasar produk Kakao dan Kopi sangat menjanjikan. Dengan demikian dapat dikatakan juga ada problem dalam rantai pasok atau rantai pemasaran kedua produk tersebut, sehingga petani masih dalam posisi klasik, yakni keuntungan kecil di sektor hulu atau produsen.

Berbeda dengan NTP hortikultura dan perkebunan rakyat, NTP tanaman pangan menunjukkan trend positif dari bulan September 2014 sampai akhir Januari 2015 dengan capaian angka sebesar 101,23 atau 1.23 point di atas batas dasar 100. Hasil penjualan padi, jagung dan ubi kayu mampu semakin mendatangkan rezeki bagi petani tanaman pangan. Terkhusus padi, harga penjualan Gabah Kering Panen di atas harga HPP yang masing-masing sebesar Rp.3300 dan Rp, 3350. Kenaikan NTP ini juga menunjukkan kemampuan petani dalam menanggung kenaikan baik biaya biaya produksi dan penambahan modal (BPPM) untuk kelanjutan usaha tani petani tanaman pangan, diantaranya bibit, pupuk, obat-obatan, sewa lahan dan upah buruh tani. Hal ini juga diuntungkan dari turunnya biaya kebutuhan konsumsi rumah tangga (KRT) atau adanya deflasi pedesaan sebesar 0,03 % yang kemungkinan disebabkan oleh turunnya harga BBM pada bulan Januari.

NTP_Pangan_Januari 2015

Henry menggarisbawahi, kenaikan BPPM sebenarnya patut juga dipertanyakan karena selama bulan Januari 2015 Presiden Jokowi dan Menteri Pertanian gencar untuk mengejar target peningkatan produksi atau swasembada pangan dengan memberikan bantuan pupuk, benih dan traktor, serta perbaikan irigasi. Bahkan mengerahkan Babinsa untuk memastikan petani menyempurnakan musim tanamnya.

“Sementara BPS tidak menyebutkan upah buruh tani selama bulan Januari. Tentu pada sisi lain hal yang positif pula bila kenaikan tersebut disebabkan oleh kenaikan upah buruh tani dan bukan kenaikan input produksi di saat Pak Jokowi berbasah ria menanam padi bersama petani,” tambah Henry.

 

 

 

ARTIKEL TERKAIT
Kongres III FSPI
SPI Sumut Gelar Rapat Kerja Wilayah
SPI Ponorogo lakukan aksi, anggota DPRD malah kabur
Konflik Agraria di Sumbar Rugikan 3.477 Petani
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU