KEPAHIANG. Tiga orang petani anggota SPI di Desa Tangsi Baru, Kecamatan Kabawetan, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu dipaksa oleh polres setempat untuk menyerahkan tanah perjuangan mereka (18/12). Mereka adalah Martoyo (70), Samirun (55) dan Wagianto (45).
Menurut Henderman, perwakilan SPI Bengkulu, kasus ini bermula pada senin (16/12). Hari itu, para petani SPI sedang melakukan kerja gotong royong membersihkan lahannya. Ketika mereka sedang bekerja, oknum PT Sarana Mandiri Mukti (PT SMM) bersama oknum Polres setempat mendatangi para petani, membubarkan gotong royong, dan mengusir petani dari lahannya. Mereka beralasan petani melakukan tindakan ilegal karena menggarap lahan milik PT SSM. Keesokan harinya, Polres mengeluarkan surat panggilan kepada para petani.
“Karena dipanggil Polres, besoknya (rabu, 18/12) para petani pun datang. Disanalah mereka dipaksa menyerahkan tanah yang mereka garap, dan diancam penjara jika mereka tidak menyerahkannya. Mereka disana diintimidasi, kami punya rekaman yang membuktikan proses intimidasi oleh oknum Polres. Akhirnya salah seorang petani menandatangani surat penyerahan lahan seluas 1/4 Ha kepada perusahaan di atas materai. Kami sangat menyesali sikap oknum Polres ini,” papar Henderman di Kepahiang pagi ini (19/12).
Henderman menjelaskan, berdasarkan dokumen warga, lahan yang disengketakan itu awalnya adalah perusahaan perkebunan teh milik Belanda. Perusahaan mendatangkan tenaga kerja dari Pulau Jawa. Lalu, setelah Indonesia merdeka, perusahaan berganti-ganti pengelola. Pada 1987, lahan dengan luas 1.000 Ha dikelola PT Sarana Mandiri Mukti (PTSMM) dengan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) nomor 1 /KW/KPH/1989 dan berakhir pada 31 Desember 2019. Karena telantar sejak 1987, tenaga kerja yang didatangkan dari Pulau Jawa, akhirnya memanfaatkan tanah milik perusahaan hingga kini. HGU ini juga dibebani dengan hipotik peringkat pertama dan peringkat kedua pada Bank Pembangunan Indonesia dan telah dihapuskan berdasarkan surat dari Badan Penyehatan Perbankan Nomor 334/2005 tanggal 28 April 2005.
Tanah tersebut akhirnya diusulkan sebagai lahan telantar karena tidak pernah dikelola oleh perusahaan. Selanjutnya perusahaan melepaskan tanah seluas 224,88 Ha dan menyerahkannya kepada negara yang kemudian disepakati dalam rapat pemegang saham luar biasa, berdasarkan akta notaris Nurlela Wati SH dan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah tanggal 27 Juni 2011.
Selanjutnya, berdasarkan berita acara sidang panitia C kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bengkulu tanggal 1 Juli 2011, tanah seluas 224,88 hektar yang diserahkan ke negara itu dijadikan obyek land reform (diberikan kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah). Masyarakat juga memiliki surat pernyataan dari perusahaan tertanggal 12 Mei 1998 ditandatangani Guntur Wiweko selaku Pjs Administratur.
Dalam surat itu dinyatakan bahwa perusahaan tidak akan menganggu gugat lahan pertanian rakyat selama-lamanya. Gubernur Bengkulu, Junaidi Hamsyah pernah mengirimkan surat penghentian kegiatan di areal HGU perusahaan kepada Bupati Kepahiang, tetapi surat tersebut tak diindahkan.
Konflik mulai memanas pada Agustus 2012. Saat itu PT. SMM mengeluarkan surat pengusiran kepada para petani dan mulai menanami kayu afrika dan kayu sengon di tengah-tengah persawahan dan kebun kopi para petani, hingga mematikan sumber air/irigasi untuk pengairan sawah-sawah petani.
“Oleh karena itu kami akan meninta kejelasan dari BPN pusat, karena berdasarkan kabar terakhir yang kami dapat lahan perjuangan seluas 224,88 Ha yang saat ini dikelola oleh ratusan rumah tangga petani dan sudah disetujui sebagai objek land reform ini justru hendak diregisterkan atas nama oknum lain yang bukan berasal dari daerah ini,” tegas Henderman.
Henderman menambahkan, selama ini petani telah memanfaatkan lahan tersebut secara produktif sebagai sumber ekonominya, membangun kehidupan dan menjamin kedaulatan pangan daerah sekitarnya.
“Gubernur Bengkulu sendiri pada 24 September lalu, bersamaan dengan Hari Tani Nasional, telah menjamin aktivitas kami petani untuk berproduksi di atas lahan tersebut. Namun kini hal itu terancam karena keserakahan dan ketamakan segilintir pihak. Kami menuntut keadilan. Kami juga meminta pihak berwenang untuk mengembalikan lahan milik petani yang diserahkan paksa ke pihak perusahaan,” tambahnya.