JAKARTA. Sistem ekonomi yang saat ini dianut oleh mayoritas negara dunia telah gagal. Setidaknya hal inilah yang menjadi pokok bahasan dalam Serial Pendidikan Publik tentang Spekulasi Pangan dan G 20, yang diselenggarakan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Koalisi Anti Utang (KAU) di Gedung YTKI, Jakarta, pagi tadi (24/10).
Henry Saragih, Ketua SPI menyampaikan bahwa krisis pangan saat ini adalah akibat dari sistem ekonomi global yang semakin neoliberal.
“Sistem ekonomi kapitalisme global-lah yang menyebabkan krisis saat ini. Sistem ekonomi ini menyebabkan ketidakadilan sosial, kerusakan alam, dan peperangan,” ungkap Henry yang menjadi salah seorang narasumber dalam acara ini.
Dilihat dari sisi pangan, Henry menjelaskan bahwa sistem ekonomi neoliberal inilah yang memperkenalkan model ketahanan pangan pada World Food Summit (Pertemuan Pangan Dunia) tahun 1996 yang lalu. Model ketahanan pangan ini terbukti telah gagal mengatasi krisis pangan dan mensejahterakan petani lokal. Ketahanan pangan cenderung menghilangkan peran negara karena berorientasikan sistem ekonomi berbasiskan pasar.
“Ketahanan pangan membolehkan perdagangan bebas dan spekulasi pangan. Sistem ini juga tidak peduli tentang kerusakan alam, yang penting produksi pangan meningkat dan ketersediaan pangan terjamin, tidak peduli juga apakah petani kecil menderita,” tutur Henry.
Henry menambahkan bahwa SPI bersama La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) telah memiliki alternatif dari ketahanan pangan, yang dikenal dengan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan memberikan hak kepada rakyat dan negara untuk mengatur persoalan pangannya dan menghilangkan peran-peran perusahaan besar multinasional.
‘Kedaulatan pangan adalah harga mati untuk mengatasi krisis pangan saat ini. Inilah saat yang tepat buat kekuatan rakyat untuk bergerak,” tegas Henry yang juga Koordinator Umum La Via Campesina.
G 20 = Omong Kosong
Sementara itu, Dani Setiawan dari KAU yang juga menjadi narasumber dalam acara ini mengemukakan bahwa G 20 adalah sebuah omong kosong yang berusaha mengajak negara-negara berkembang untuk ikut menanggulangi krisis di negara-negara maju yang saat ini terjadi di Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Mengenai keanggotaan Indonesia di G 20, Dani dengan tegas bahwa hal ini semata dilakukan untuk pencitraan oleh pemerintahan SBY bahwa Indonesia adalah negara yang cukup progresif dan aktif di kancah internasional.
“Untuk mengatasi krisis di Eropa dan AS, mereka (Eropa dan AS) harus mengekspansi pasarnya ke negara-negara berkembang. Mereka mendorong kebijakan-kebijakan di negara berkembang untuk mendukung kebijakan liberalisasi, dan Indonesia adalah sasaran empuk. Penunjukan Gita Wiryawan sebagai Menteri Perdagangan yang notabene pernah bekerja di JP Morgan (perusahan spekulan dan investasi AS) semakin menjelaskan arah perdagangan yang ingin dicapai pemerintahan Indonesia saat ini. G 20 juga tidak berani mengubah regulasi yang mendukung terjadinya spekulasi pangan, malah merekalah yang mendorong liberalisasi pasar pangan,” ungkap Dani.
Mary Lou Malig, Staf La Via Campesina Regional Asia menambahkan bahwa G 20 sama sekali melakukan apa-apa yang berkontribusi untuk rakyat.
“Krisis yang terjadi di Eropa dan AS telah menunjukkan bahwa model kapitalisme neoliberal telah gagal dan saat ini adalah waktu yang tepat untuk merumuskan alternatif sistem baru yang berkelanjutan secara sosial dan ekologis serta demokratis,” tutur wanita ini.