JAKARTA. Ormas tani sudah sepatutnya tidak lagi “alergi” dalam hal-hal administratif pemerintahan. Ormas tani harus siap dan sigap jika ingin mengambil peran dalam berbagai program-program negara, termasuk untuk terlibat dalam menjalankan program pembaruan agraria. Hal ini diutarakan Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah dalam Focus Group Discussion (FGD) menuju Konferensi Nasional Reforma Agraria (KNRA) di Jakarta, siang tadi (12/09).
“Ormas tani dan ormas rakyat harus mulai merapikan struktur organisasi, mulai dari tingkat pusat hingga di paling bawah, termasuk melengkapi struktur kepengurusan dan sekretariat perwakilan di tingkat paling bawah,” tutur Ruli dalam FGD yang bertemakan “Penguatan Kelembagaan Gerakan Rakyat Dan Peningkatan Partisipasi Rakyat Dalam Pelaksanaan Reforma Agraria” ini.
Agus Ruli memaparkan, bagi SPI sendiri, ruang yang selama ini diberikan oleh pemerintah belum maksimal, baik dalam hal partisipasi dalam perumusan kebijakan, maupun dalam implementasinya. SPI maupun ormas tani lain sulit untuk mengakses berbagai program yang digulirkan oleh pemerintah. Ada aturan dalam bentuk peraturan menteri pertanian, yang membatasi partisipasi petani hanya melalui model Poktan (Kelompok Tani) dan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani). Setiap organisasi tani yang akan mengakses program pemerintah, harus menggunakan poktan atau gapoktan.
“Oleh karena itu saat ini SPI, IHCS (Indonesia Human Right Commission for Social Justice), dan lembaga-lembaga lainnya melakukan judicial review terhadap UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) ke Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya pasal 69, 70 dan 71 yang mengatur soal kelembagaan organisasi tani. Kita mendesak agar seluruh organisasi tani diakomodir dan diberikan akses yang sama, tidak ada perlakuan diskriminatif dari pemerintah,” papar Ruli.
Ruli menggarisbawahi, SPI bersama dengan API (Aliansi Petani Indonesia), dan P3I (Persatuan Pergerakan Petani Indoensia), telah mendeklarasikan perubahan organ pemenangan Seknas TANI JOKOWI menjadi Badan Musyawarah Tani Indonesia (BAMUSTANI).
“Melalui BAMUSTANI kita mendorong sebuah wadah bersama bagi berbagai organisasi tani, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk membangun ruang partisipasi dalam program negara,” ungkap Ruli.
Hal senada diungkapkan oleh Dalail dari Serikat Nelayan Indonesia. Menurutnya, gerakan-gerakan nelayan yang dibangun oleh rakyat belum menuai hasil yang menggembirakan. Yang mencuat ke permukaan justru maraknya kriminalisasi nelayan, dan munculnya berbagai konflik di pesisir. Nelayan dibenturkan dengan kelompok-kelompok pengusaha kapal.
“Yang kita lakukan saat ini lebih banyak melakukan advokasi di tingkat basis untuk membangun kesadaran atas hak-hak nelayan. Oleh karena itu, peran organisasi sangat penting, untuk mengkonsolidasikan perjuangan hak-hak nelayan di tingkat nasional,” sebutnya.
Dalail pun berharap agar ke depannya, gerakan nelayan secara nasional bisa terkonsolidasi, dan mampu mewarnai gerakan rakyat di tingkat nasional.
Sementara itu menurut Ketua Departemen Penguatan Organisasi Rakyat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Kent, ada beberapa persoalan penting yang dianggap sebagai tantangan perjuangan rakyat. Pertama tantangan politik dan hukum. Harus diingat bahwa sepuluh tahun belakangan ini, selama pemerintahan SBY, kebijakan ekonomi nasional sangat condong kepada kepentingan pasar. Mengenai akses keterlibatan organisasi tani, perundang-undangan yang ada, seperti UU Perlintan dan UU Ormas, menjadi penghambat bagi keterlibatan organisasi rakyat. Tahun 2007 ada MoU antara TNI-Polri dengan BPN, yang menjadi alat untuk melakukan tindak kriminalisasi dalam berbagai konflik agraria. Kemudian di bulan februari kemarin, SBY mengeluarkan perpres penanganan konflik sosial.
“Hal ini menunjukkan bahwa regulasi yang dikeluarkan selama sepuluh tahun ini diambil untuk melindungi kepentingan pasar modal. Dari berbagai kasus-kasus kriminalisasi petani, seringkali digunakan pasal-pasal karet untuk mengintimidasi petani. Oleh karena itu kita perlu melakukan review berbagai regulasi atau perundang-undangan yang menjadi tantangan dan hambatan bagi perjuangan agraria,” kata Kent.
Estibo dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menambahkan, AMAN telah melakukan kerja-kerja advokasi agar negara mengakui hak-hak masyarakat adat.
“Kita telah berhasil melalui gugatan di MK, dan kini sedang ada perumusan undang-undang pengakuan hak-hak masyarakat adat,” tambahnya.