Pendahuluan
Pada hari Senin, 5 Oktober 2020, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna. UU Cipta Kerja merupakan satu dari empat rancangan undang-undang yang menjadi prioritas pemerintah1 pada Prolegnas 2020-2024 untuk disahkan, dengan harapan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan investasi di Indonesia. Disahkannya UU Cipta Kerja mendapatkan protes keras dari organisasi petani, buruh, masyarakat adat, akademisi perguruan tinggi, dan berbagai elemen masyarakat lainnya.
Setidaknya terdapat beberapa hal kontroversial seputar UU Cipta Kerja. Pertama, pembahasan undang-undang ini sangat cepat. Terhitung sejak rancangan dari UU Cipta Kerja secara resmi diajukan oleh pemerintah kepada DPR –RI pada 13 Februari 2020, hal ini berarti pembahasan UU Cipta Kerja memakan waktu hanya 7 bulan. Bahkan pembahasan dilakukan ketika DPR-RI memasuki masa reses di Bulan Juli 2020 lalu.
Kedua, pembahasan UU Cipta Kerja menggunakan metode ‘Omnibus Law’, suatu metode yang ‘mengganti dan/atau mencabut beberapa materi hukum dalam berbagai undang-undang’ atau dengan kata lain memiliki implikasi besar terhadap banyak peraturan perundang-undangan yang sudah ada di Indonesia2. Hal ini menjadi masalah besar mengingat UU Cipta Kerja yang sangat ambisius dan pembahasannya yang sangat cepat, memunculkan pasal-pasal yang bertentangan dengan konstitusi dasar kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan mencederai hak-hak petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, serta kepentingan rakyat banyak.
Ketiga, proses pembahasan UU Cipta Kerja abai terhadap situasi dan kondisi saat ini. Kebijakan penanganan pemerintah cenderung mengedepankan kepentingan ekonomi dan mengabaikan hak rakyat atas keamanan dan kesehatan di tengah pandemi Covid-19 yang semakin memburuk di berbagai wilayah Indonesia.
Serikat Petani Indonesia (SPI) sebagai organisasi massa petani di Indonesia telah melakukan pengkajian terhadap pasal-pasal di dalam UU Cipta Kerja, mulai dari naskah akademik sampai dengan butir-butir pasal di dalamnya, untuk melihat implikasi dari UU Cipta Kerja terhadap petani dan orang-orang yang bekerja di pedesaan. Hasil kajian tersebut akan dipaparkan ke dalam pandangan dan sikap SPI sebagai berikut.
Pandangan SPI terhadap Undang-Undang Cipta Kerja
Kebijakan tentang pembangunan dan penciptaan lapangan kerja di Indonesia tidak boleh menyimpang dari misi mewujudkan ‘Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong’. Terkait misi tersebut, SPI mengapresiasi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin yang berkomitmen dengan program-program aksi prioritas, seperti pelaksanaan Reforma Agraria untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia, meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan produksi, sampai dengan peningkatan kualitas dan kontribusi koperasi terhadap perekonomian nasional.
SPI berpandangan substansi di dalam UU Cipta Kerja justru kontradiktif dan kontraproduktif dengan misi yang dicita-citakan oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin. Didasarkan pada argumentasi bahwa investasi dan pembukaan lapangan kerja merupakan kunci untuk memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia, UU Cipta Kerja kemudian mendorong terjadinya ‘reformasi regulasi’ atau dengan kata lain deregulasi di bidang perizinan berusaha. Hasilnya adalah UU Cipta Kerja menghapus sebagian besar persyaratan administratif maupun sanksi yang dinilai memperlambat laju investasi di Indonesia, termasuk di dalamnya izin mengenai impor pangan, pengadaan tanah dalam skala besar, sampai kemudahan penguasaan tanah untuk waktu yang lama bagi investasi. Secara garis besar, SPI berpandangan UU Cipta Kerja sarat akan kepentingan korporasi dan sangat berpotensi memunculkan pelanggaran terhadap hak-hak petani dan orang-orang yang bekerja di pedesaan. Lebih lanjut, pandangan SPI dipaparkan ke dalam beberapa poin sebagai berikut:
Selengkapnya silahkan klik di sini