Sejak tahun 2006 petani dan rakyat miskin di Indonesia dijanjikan mendapatkan lahan melalui “landreform” isu ini begitu hangat di tahun 2007-2008 karena presiden dan kabinetnya berencana membagi-bagikan tanah seluas 9.25 juta hektar kepada petani. Program ini oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dikenalkan dengan nama Program Pembaruan Agraria NAsional (PPAN).
JJ Polong, Wakil Ketua Majelis Nsional Petani (MNP) Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan “Tidak ada yang tahu kemana hilangnya program ini. Sebab, BPN kemudian menjalankan program LARASITA (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan). Sedangkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Reforma Agraria yang dijanjikan tak kunjung ditandatangani presiden. Mungkin benar anggapan umum selama ini bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat lamban dalam mengambil keputusan-keputusan. Lebih cepat mengumumkan sesuatu hal ketimbang mengimplementasikan,” ungkap Polong.
Sampai pada pemilihan presiden Juli lalu tidak dapat dilihat keseriusan para calon presiden dimana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) yang masing-masing menjadi calon presiden periode 2009-2014. “Hal tersebut dapat dilihat tidak ada janji untuk melanjutkan program ini baik dari pihak SBY maupun JK. Bahkan, banyak yang terheran-heran dengan program SBY kedepan. Soalnya, iklan-iklan beliau lebih menitikberatkan pada sosoknya yang dicintai keluarga dan sahabat-sahabatnya. SBY sepertinya menganggap rakyat sudah tahu apa program-program dan keberhasilan pemerintahannya. Sehingga tak perlu lagi menjelaskan,” tambah Polong.
Konflik untuk Pembaruan Agraria di Palembang. Dikatakannya, seiring dengan belum adanya kepastian PPAN, konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian terus berlangsung semakin meresahkan masyarakat khususnya petani. Akibatnya, konversi lahan sawah sedikitnya 10 ribu hektare per tahun.
Kepemilikan lahan oleh petani juga kian sempit dan semakin menjadi gurem, yakni tinggal 0,3 hektare di Pulau Jawa, dan 1,19 hektare di luar Jawa. Bahkan akibat konversi lahan ini, di Kalimantan Timur semakin banyak petani tanpa tanah. Setidaknya 5.000 ha lahan pertanian telah menjadi lahan pertambangan batu bara yang tersebar di 12 kabupaten, ujar dia pula.
Belum lagi konflik agraria yang terus terjadi, setidaknya enam orang petani tewas akibat konflik lahan sepanjang tahun 2008, kata dia lagi. Ia menyampaikan, dalam keadaan seperti itu PPAN malah menjelma menjadi sekadar program sertifikasi lahan-lahan pertanian.”Lagi-lagi pembaruan agraria direduksi menjadi persoalan administrasi pertanahan belaka,” tambah Polong.
Selanjutnya dia mengatakan, berdasarkan penilaian SPI kemauan politik reforma agraria dengan “landreform” ini sejak awal sudah terasa janggal dan kini mulai terbuka tanda-tanda kebohongannya. Karena sejatinya pembaruan agraria ditujukan untuk mengurangi, bahkan meniadakan ketidakadilan struktur agraria, kata dia.
Namun dengan percepatan sertifikasi lahan yang dikampanyekan sekarang, justru dikhawatirkan akan memperkuat struktur ketidakadilan itu dan malah semakin mempercepat mekanisme penciptaan pasar tanah. Idealnya tanah itu disertifikatkan bukan untuk diperjualbelikan, tapi menjadi bukti kepemilikan hak dan menjadi sarana bagi petani dan pemilik lahan mencapai keberlanjutan pencaharian untuk menjadi sejahtera.