JAKARTA. Menjelang tiga tahun usia pemerintahan, nyaris tak terdengar kembali gaung nawacita yang dikumandangkan jajaran pemerintahan di awal periode. Agenda pembangunan ekonomi telah bergeser dari rel nawa cita, menjadi sekedar formalitas belaka dan tidak membawa perubahan bermakna. Demikian halnya dengan agenda kedaulatan pangan, direduksi menjadi sekedar swasembada pangan.
Menurut Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah, gelontoran anggaran yang diberikan kepada Kementerian Pertanian (Kementan) tidak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan petani.
“Nilai tukar petani tanaman pangan tercatat pada angka tertinggi (104,1) hanya pada November 2015 saja, selanjutnya merosot tajam hingga angka 95,4 pada Maret 2017. NTP petani tanaman pangan berada di bawah angka 100 sejak April 2016 hingga Mei 2017. Akibatnya kemiskinan di pedesaan tidak berkurang dan masih tetap saja lebih tinggi dari angka kemiskinan di perkotaan, demikian juga dengan kebahagiaan masyarakat desa masih tak sebahagia orang yang tinggal di perkotaan,” papar Agus Ruli di Jakarta pagi ini (25/09).
Agus Ruli melanjutkan, agenda besar kedaulatan pangan yang sejak awal dititipkan kaum tani kepada Jokowi-JK pada visi misinya, adalah menempatakan petani menjadi tulang punggung untuk mewujudkan kedaulatan pangan, yang akan mendorong peningkatan kesejahteraan petani dan pengentasan kemiskinan di pedesaan.
“Kenyataannya, Kementan tak menempatkan petani sebagai tulang punggung dalam pembangunan pertanian, tidak melakukan perombakan dan pembangunan kelembagaan petani dengan sungguh-sungguh, kelembagaan ekonomi petani terabaikan,” tegasnya.
Agus Ruli menegaskan, Kementan masih menempatkan kelompok tani sebagai satu-satunya kelembagaan yang mengurus segala proses produksi pertanian dan usaha tani di perdesaan, bahkan melibatkan melibatkan TNI terlalu jauh dalam urusan praktis pembangunan pertanin; sehingga membebani institusi tersebut.
“Pembangunan kelembagaan petani ekonomi petani yang permanen dan komfrehensif terabaikan, pembangunan koperasi petani tak dilakukan, kegiatan pendidikan dan penyuluhan pertanian juga tak komprehensif dan jangka panjang, perbaikan pertanian pasca produksi berupa mata rantai perdagangan pertanian juga tak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Inflasi pangan masih saja tetap tinggi,” paparnya.
Agus Ruli menekankan, persoalan-persoalan di atas semakin parah, karena Program Indonesia Sejahtera dengan mendistribusikan 9 juta hektar tanah bagi petani yang seharusnya menjadi langkah awal untuk mewujudkan kedaulatan pangan tidak berjalan. Kementan justru berupaya mengkonsolidasi lahan-lahan pertanian petani gurem untuk dikelola dalam manajemen korporasi (terjadi korporatisasi pertanian).
“Itu artinya melepaskan usaha pertanian dari kendali petani. Padahal yang diperlukan adalah mengkoperasikan petani, supaya petani menjadi tulang punggung, supaya petani menjadi pengendali,” sebutnya.
“Kebijakan korporatisasi pertanian tersebut justru berpotensi meminggirkan petani, dan bertolak belakang dengan arah kebijakan RKP tahun 2017 yang berorientasi pemerataan, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan,” sambungnya.
Oleh karena itu Agus Ruli kembali menegaskan, dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional (HTN) yang ke 57 — 24 September 2017 — SPI menyerukan agar pemerintah, dalam hal ini Presiden mengevaluasi kinerja Menteri Pertanian, karena gagal mengemban mandat untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani.
“Jalankan prinsip kedaulatan pangan yang telah digariskan dalam nawacita pemerintahan Joko Widodo,” sebutnya.
Agus Ruli menambahkan, SPI juga menyerukan agar pemerintah menghentikan kebijakan korporatisasi pertanian, dan sebaliknya bangun usaha-usaha bersama petani melalui koperasi yang mengurus produksi pertanian dan pasca produksi. Selanjutnya pemerintah juga harus menghentikan segala bentuk program-program yang sifatnya darurat dalam pendidikan dan penyuluhan pertanian, dan bangun kelembagaan pendidikan dan penyuluhan yang permanen dengan menggerakan pendidikan antar petani, petani ke petani, dan segera integrasikan dengan badan usaha ekonomi petani yaitu koperasi petani.
“Hentikan penyusunan “Peta Jalan Percepatan Pengembangan Produk Rekayasa Genetik”, karena mengancam ekologi dan masa depan petani. Bangun dengan sungguh-sungguh program desa berdaulat benih, dan pusat-pusat penelitian perbenihan pemerintah, universitas maupun BUMN yang sudah bergerak di bidang perbenihan selama ini untuk bisa menghasilkan bagi kepentingan petani Indonesia,” imbuhnya.
Agus Ruli menambahkan, SPI selanjutnya menyerukan pemerintah untuk menghentikan jargon untuk kepentingan ekspor. Indonesia sejak zaman Belanda sudah menjadi negara pengekspor pertanian tapi petaninya tetap miskin.
“Bangun pertanian Indonesia untuk utamakan kebutuhan pangan dan segala kepentingan dalam negeri terlebih dahulu, dengan membangun pasar-pasar pertanian dalam negeri,” tambahnya.
Agus Ruli selanjutnya menyampaikan, SPI meminta pemerintah untuk mengkoreksi secara menyeluruh penggunaan pupuk kimia, yang telah menghabiskan anggaran negara yang begitu besar setiap tahunnya.
“Bangun pertanian Indonesia dengan menerapkan pertanian yang ekologis, tanpa tergantung pada penggunaan pupuk kimia yang begitu besar dan melepaskan ketergantungan petani dari benih produksi korporasi dan racun-racun kimia yang merusak tanah dan kehidupan petani dan konsumen,” katanya.
“Pemerintah harus segera membentuk Badan Pangan Nasional, sesuai amanat UU Nomor 18 Tahun 2012, yang bisa mengawasi kebijakan pangan nasional, menghentikan spekulasi pangan yang merusak sendi-sendi perekonomian negara,” sambungnya.
“Pemerintah juga harus menjalankan mandat Undang-Undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani untuk kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya:
Agus Ruli Ardiansyah – Sekretaris Umum DPP SPI – 0812 7616 9187