Pemenuhan hak pangan rakyat dan hak-hak petani kecil harus menjadi acuan dalam upaya menyelesaikan krisis pangan global

Ada dua peristiwa penting menyangkut upaya masyarakat dunia menangani krisis pangan global yang sedang melanda masyarakat dunia saat ini. Pertama, pertemuan special session Dewan HAM PBB pada bulan Mei lalu yang didalamnya membahas hak atas pangan (right to food) dalam kaitannya dengan krisis pangan global dan perubahan iklim. Kedua, KTT pangan dunia yang diadakan Badan Pangan Dunia (FAO) pada 3-5 Juni 2008 di Roma, Italia, yang membahas agenda dunia untuk menyelesaikan krisis pangan global.

Pelapor Khusus Hak Atas pangan PBB  menyatakan bahwa perdagangan bebas sulit untuk bisa memecahkan masalah kelaparan dunia dan seringkali menciptakan rintangan bagi realisasi hak atas pangan. Padahal akses atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya harus menjadi kunci dari  hak atas pangan. Dasar legalnya sudah dijelaskan dalam teks Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Sementara itu, para pemimpin dunia dalam KTT pangan dunia yang diadakan FAO menyatakan akan menempuh segala cara untuk mengatasi persoalan krisis pangan global. Namun lagi-lagi para pemimpin dunia dan pemerintahan yang hadir malah menjawabnya dengan revolusi hijau dan perdagangan bebas melalui Kerangka Aksi Comprehensif (Comprehensive Framework for Action) untuk mengurangi hambatan perdagangan, memobilisasi bantuan, dan mengiventasikan modal di bidang pertanian.

SPI dan IHCS memandang agenda pengentasan kelaparan dan pemenuhan hak atas pangan tidak akan tercapai apabila solusi yang ditawarkan adalah kebijakan yang sama dan sudah terbukti gagal.  Bagaimana tidak, pada pertemuan pangan dunia tahun 1996, FAO bertekad untuk mengurangi angka kelaparan dari 800 juta jiwa saat itu menjadi setengahnya pada tahun 2015. Namun yang terjadi saat ini angka kelaparan naik menjadi 862 juta jiwa, bahkan IFAD meramalkan tahun 2025 orang yang mengalami krisis pangan menjadi 1,2 milyar jiwa. Hal tersebut terjadi karena kebjikan yang salah, dimana pemerintahan mempercayakan penyelesaian masalah pangan kepada mekanisme pasar bebas dengan WTO sebagai wasitnya yang didukung oleh perusahaan-perusahaan multinasional, IMF dan Bank Dunia. Hasilnya, harga pangan melonjak karena yang menguasai sumber-sumber pangan hanya segelintir perusahaan saja. Angka kelaparan juga meningkat karena petani digiring untuk menanam tanaman yang berorientasi ekspor sehingga kebutuhan keluarga, komunitas dan nasional akan bahan pangan pokok terabaikan.

Aksi-aksi neoliberal yang dilakukan melalui liberalisasi sumber-sumber agraria dan privatisasi di bidang pertanian telah mengakibatkan hilangnya akses rakyat kepada hak atas sumber-sumber agraria. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan modal (capital violence) yang didukung oleh produk hukum (judicial violence) seperti undang-undang migas, sumber daya air, perkebunan, kehutanan, dan lain-lain. Dengan kondisi tersebut, perusahaan agribisnis besar semakin agresif memperluas ladang-ladangnya sementara itu rakyat dan petani semakin sulit mengakses lahan.

Dalam hal revolusi hijau, SPI dan IHCS memandang bahwa kebijakan revolusi hijau yang dilakukan di Indonesia, telah mengakibatkan ketergantungan petani terhadap input luar untuk memproduksi pertaniannya. Harga pupuk, benih dan obat-obatan ditentukan oleh segelintir perusahaan besar saja. Akibatnya petani harus menanggung mahalnya biaya satuan produksi pertanian. Sehingga margin yang diperoleh petani semakin kecil, dalam jangka panjang keadaan ini menjerumuskan petani ke jurang kemiskinan yang semakin akut. Disamping itu, kebijakan revolusi hijau telah nyata-nyata menyebabkan kerusakan lingkungan secara masif. Tanah-tanah pertanian berkurang kesuburannya, hama-hama menjadi resisten terhadap pestisida sehingga membutuhkan pestisida lebih banyak lagi untuk membasminya, timbulnya penyakit-penyakit baru yang disebabkan residu bahan-bahan kimia, terganggunya ekosistem dan efek-efek tidak langsung bagi kesehatan manusia.

SPI dan IHCS juga memandang kebijakan revolusi  hijau dan liberalisasi perdagangan tidak akan bisa menyelesaikan krisis pangan global. Bahkan sebaliknya, kedua kebijakan tersebut telah menyebabkan ketidakadilan global. Fenomena ketidaksdilan global sudah terlihat jelas. Hal  ini, juga dibenarkan oleh Direktur Jenderal FAO Jacques Diouf yang mengatakan bahwa miliaran dollar AS telah digunakan untuk memberi makan orang “gemuk” di negara-negara Barat, sedangkan jutaan orang lainnya kelaparan.

Untuk keluar dari krisis pangan global ini, SPI dan IHCS  memandang perlu dilaksanakannya hal-hal berikut:

  1. Meningkatkan produksi pangan dunia dengan melakukan Pembaruan Agraria berupa membagi-bagikan tanah kepada petani, sehingga petani bisa memproduksi pangan secara masif, karena saat ini kepemilikan lahan petani  di Indonesia hanya 0,3 hektar dan sebagian besar lainnya hanya buruh tani yang tidak punya lahan.
  2. Berikan kepada petani hak untuk menentukan sendiri apa yang akan ditanam dan diproduksinya dalam rangka memenuhi kebutuhan domestiknya baik itu untuk keluarganya sendiri, komunitas dan kepentingan nasionalnya. Kemudian pemerintah harus melindungi pasar domestik dari serbuan bahan pangan murah (dumping) dari luar negeri dan menindak spekulan besar. Artinya, pemerintah harus menegakkan kedaulatan pangan.
  3. Adanya mekanisme internasional lewat PBB (instrumen HAM) yang memberikan tanggungjawab dan kewajiban negara dan perusahaan multinasional atas penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi petani.
  4. Pemerintah dan gerakan rakyat di Indonesia harus membangun persatuan negara-negara selatan (Asia, Afrika, dan Amerika Latin) untuk menentang ketidakadilan global yang dilakukan negara-negara utara yang operasionalnya dijalankan oleh perusahaan-perusahaan transnasional, IMF dan Bank Dunia.
  5. PBB dan negara-negara harus menguji kewajiban ekstranasional negara (yaitu kewajiban negara terhadap warga negara dari negara lain). Dalam konteks kewajiban ekstranasional, kewajiban untuk menghormati Hak atas Pangan berarti, Negara harus mengambil tindakan atas segala dampak negatif terhadap Hak atas Pangan yang dirasakan orang di negara lain, dan harus memastikan bahwa hubungan dagang tidak merusak Hak atas Pangan dari orang yang hidup di negara lain. Kewajiban untuk melindungi, berimplikasi bahwa Negara mempunyai kewajiban untuk melakukan pengaturan terhadap perusahaan dan dunia usaha yang beroperasi di negara lain dalam usaha mencegah kekerasan.

Jakarta, 9 Juni 2008
SPI (Serikat Petani Indonesia)
IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice)

ARTIKEL TERKAIT
Keluarga besar SPI berduka cita atas meninggalnya Wiwik M. K...
Lahan Petani SPI Simpang Tenggo, Pasaman Barat, Digusur Oknu...
SPI adalah panggilan jiwa
20 Tahun SPI: Ucapan Selamat Mulai dari Mahasiswa, Hingga Pi...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU