JAKARTA. Sepanjang tahun 2011 terjadi 144 kasus pelanggaran terhadap Hak Asasi Petani (HAP) di berbagai wilayah Indonesia. Pelanggaran HAP tersebut menyebabkan 18 orang korban tewas dan sebanyak 35 didakwa dan dipenjara.
Demikian disampaikan Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dalam konferensi pers Laporan Pelanggaran Hak Asasi Petani 2011 di Jakarta, Selasa, (20/11).
SPI menggunakan Deklarasi Hak Asasi Petani sebagai alat monitor untuk menilai sejauh mana hak asasi petani diakui, dilindungi, dan dipenuhi. Deklarasi tersebut berisikan 13 pasal utama dan singkat untuk menandakan pelanggaran di lapangan.
Ketiga belas pasal tersebut adalah Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak, Hak atas tanah dan teritori , Hak atas benih dan pengetahuan serta praktek pertanian tradisional, Hak atas permodalan dan sarana produksi pertanian, Hak atas informasi dan teknologi pertanian, Kemerdekaan untuk menentukan harga dan pasar untuk produksi pertanian, Hak atas perlindungan nilai-nilai pertanian, Hak atas keanekaragaman hayati, Hak atas pelestarian lingkungan, Kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi, Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan.
Menurut Henry jumlah ini jauh meningkat jika dibandingkan tahun 2010 yang hanya 51 kasus pelanggaran HAP.
“Banyaknya jumlah petani yang jadi korban menunjukkan pemerintah masih memilih pendekatan keamanan dan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan konflik agraria yang dialami petani,” tegas Henry.
Menurut Henry, tahun 2011 ini total luasan lahan yang disengketakan mencapai 342.360 hektar dengan melibatkan 68.472 KK atau 273.888 orang tergusur dari tanahnya dan sebagian besar merupakan konflik tanah antara petani/masyarakat/masyarakat adat dengan negara atau perusahaan.
Dari total 144 kasus pelanggaran tersebut, 103 di antaranya adalah kasus lama yang terus terjadi di lapangan dan tak kunjung terselesaikan. Pada tahun 2011 ini muncul 41 kasus baru yang didominasi kasus pelanggaran hak atas tanah dan teritori sebanyak 17 kasus dan hak untuk menentukan harga pasar untuk produk pertanian sebanyak 11 kasus dan pelanggaran hak-hak lainnya sebanyak 13 kasus.
Dari data ini, berarti 71.53 persen dari total kasus adalah kasus lama yang belum terselesaikan. Konflik berlarut-larut ini ada yang mulai termanifes dari era sebelum reformasi (8 kasus) dan era setelah reformasi (95 kasus).
“Ini menunjukan tidak adanya upaya serius dan sistematis yang dilakukan pemerintah dalam penanganan serta penyelesaian pelanggaran hak asasi petani, terutama terkait konflik tanah. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang telah dirancang sejak tahun 2004 (tidak diejawantahkan menjadi program-program nyata dan populis untuk penegakan dan perlindungan hak asasi petani,” tutur Henry.
Lebih lanjut Henry mengungkapkan, meningkatnya kasus kekerasan tersebut akibat diberlakukannya berbagai UU sektoral yang berpeluang besar menciptakan konflik agraria. UU tersebut diantaranya adalah UU Perkebunan, Kehutanan, Sumber Daya Air, Pertambangan dan yang baru disahkan UU Pengadaan Lahan untuk Pembangunan.
“Misalnya dalam pasal 20 UU perkebunan yang memperbolehkan perusahan perkebunan melakukan pengamanan berkordinasi dengan aparat keamanan dan masyarakat setempat (pam swakarsa). Tindakan-tindakan intimidasi, penggusuran, kekerasan bahkan menyebabkan kematian kerap dilakukan pam swakarsa terhadap petani yang berkonflik dengan perusahaan,” tutur Henry.
Henry melanjutkan, semua UU tersebut secara nyata memudahkan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan, kehutanan, tambang, dan air mengambil sumber-sumber agraria yang dikuasai petani dan masyarakat adat. Hal itu bisa dilihat dengan terjadinya peningkatan kasus pelanggaran hak asasi petani terkait hak atas tanah dan teritori.
Melihat sebaran konflik agraria yang terus berlangsung di berbagai wilayah di Indonesia dengan korban (baca-petani) yang cukup banyak bahkan seringkali diikuti dengan tindak kekerasan yang menyebabkan kematian menurut Henry, mendesak segera dibentuk komite penyelesaian konflik agraria yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Terakhir Henry mendesak masih banyaknya pelanggaran terhadap hak asasi petani tentunya mendesak Pemerintah untuk melaksanakan Pembaruan Agraria Sejati untuk kedaulatan pangan dan pengentasan kemiskinan dengan merealisasikan janjinya meredistribusikan tanah kepada rakyat miskin seperti yang dijanjikan dalam Program Pembaruan Agraia Nasional (PPAN).
“Program pembaruan Agraria bukan melakukan proses sertifikasi seperti yang dilakukan pemerintah dengan membagikan sertifikat tanh tapi membagikan tanah-tanah kepada petani gurem dan buruh tani yang tak bertanah di pedesaan,” pungkas Henry.
Kontak:
Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesia) 0811-655-668
Agus Ruli Ardiansyah (Ketua Departemen Politik, Hukum& Keamanan SPI) 087821272339