JAKARTA. “Pemerintah harus segera membuat badan yang berfungsi untuk menyelesaikan kasus-kasus tanah yang di hadapi petani denga perusahaan-perusahaan milik negara atau swasta, dan memberikan tanah ke petani kecil dan tak bertanah” ungkap Agus Ruli Ardiansyah, Ketua Departemen Politik Hukum dan Keamanan Serikat Petani Indonesia (SPI). Setidaknya hal tersebutlah yang menjadi salah satu rekomendasi dari konsolidasi dan sosialisasi perjuangan Hak Asasi Petani (HAP) yang diselenggarakan SPI di kantor pusatnya di Jakarta (19/04).Acara yang berupa diskusi ini membicarakan mengenai capaian-capaian dan kemajuan tentang pengakuan Hak Asasi Petani baik itu di tingkat nasional maupun internasional.
Agus Ruli menjelaskan bahwa mengenai sebenarnya pemerintah telah lama ingin membentuk badan yang berfungsi untuk menyelesaikan kasus-kasus tanah yang di hadapi petani. Pada 2001 , sebelum konferensi HAP, ada konferensi mengenai sumber daya alam dan agraria, berkaitan dengan TAP MPR No. IX/2001. Pada waktu itu Komnas HAM ikut terlibat karena kasus yang banyak masuk ke Komnas HAM adalah kasus-kasus sengketa agraria. Salah satu hasil konferensi Cibubur adalah akan dibentuknya institusi khusus yang menangani kasus-kasus sengketa agraria, dan difollow-up dengan rencana pembentukan Komisi Nasional Untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA) namun ditolak oleh Pemerintah saat itu.
“Ide ini juga dibawa ke Komnas HAM, namun tidak mendapat respon yang jelas. Ketika ide ini diterima oleh BPN, maka dibentuklah deputi khusus Penyelesaian Konflik Agraria, namun badan ini tidak implementatif. Wakil Ketua Komnas HAM juga bejanji akan membentuk desk khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus agraria, namun sampai sekarang tidak terlaksana” jelas Agus Ruli.
Muhammad Ikhwan, Ketua Departemen Luar Negeri SPI menjelaskan bahwa untuk tingkat internasionalnya telah dicapai kesepakatan mengenai kerangka Hak Asasi Petani di dewan HAM PBB (tepatnya termaktum dalam Dokumen A/HRC/13/L.17 tentang resolusi hak atas pangan).
“Walaupun tidak secara eksplisit menyatakan HAP seperti draftnya, namun tetap bisa digunakan sebagai basis terhadap perjuangan internasional kaum tani dalam mempromosikan dan menegakkan hak-hak mendasarnya—karena substansinya yang kurang lebih sama” jelas Ikhwan.
Gunawan dari IHCS (International Human right Commision for Social Justice) kemudian menambahkan bahwa pencapaian di PBB itu sudah cukup maksimal dan patut dibanggakan.
“Oleh karena itu upaya di tingkat nasional yang bisa kita lakukan adalah mengusulkan Undang-Undang (UU) baru dalam legislasi nasional—seperti UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014 dan yang paling mendesak adalah agar Rancangan Undang-Undang (RUU) ini masuk dalam prioritas 2011, dengan cara menyiapkan draft naskah akademik RUU ini agar RUU ini bisa cepat dibahas di DPR” ungkapnya.
Selain SPI dan IHCS, konsolidasi ini juga dihadiri dan didukung oleh Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan), Binadesa, FPPI (Front Pemuda dan Pelajar Indonesia), dan lainnya.