JAKARTA. Pemerintah dan DPR RI telah menyepakati RUU Perkelapasawitan menjadi salah satu prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016. Alasan utama lahirnya RUU ini adalah untuk melindungi dan menghindari intervensi asing di sektor kelapa sawit.
Kami memandang bahwa rencana RUU Perkelapasawitan pada dasarnya tidak bersifat mendesak karena sudah begitu banyak UU dan peraturan turunan yang secara eksplisit sudah mengatur perkelapasawitan.
Lebih lanjut, berdasarkan analisis kami, terdapat 41 pasal yang sama dengan UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan di dalam draft RUU tersebut. Draft RUU Perkelapasawitan yang tengah dirancang terkesan sangat politis, terburu-buru dan melindungi sektor kelapa sawit secara berlebihan terutama kepada pihak-pihak yang sangat serius melihat dampak sosial dan lingkungan. Beberapa pasal dalam RUU ini memberi legitimasi yang berlebihan dalam dukungan pemerintah terhadap investor.
Contohnya Pasal 30, di mana investor akan diberi kemudahan berupa pengurangan pajak penghasilan, pembebasan atau keringanan bea masuk impor, pembebasan atau penangguhan PPN dan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan.
Di samping itu, semua hal yang terjadi saat ini di sektor kelapa sawit seperti kerusakan lingkungan, kebakaran hutan dan lahan, kerusakan gambut, konflik sosial, perampasan tanah, hilangnya hak-hak masyarakat adat dan lokal belum menjadi perhatian serius pemerintah. Lebih lanjut, perlakuan yang memperbudak buruh perkebunan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, minimnya dukungan pemerintah kepada petani mandiri, hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat masih terus terjadi sampai saat ini dan terus dibiarkan terjadi tanpa adanya perhatian dari pemerintah. Catatan praktek pelanggaran hak asasi manusia di industri sawit yang disuarakan kelompok masyarakat sipil seperti beberapa persoalan di atas, dibaca pemerintah dan investor sebagai “black campaign”–yang dicoba untuk dihempang melalui RUU ini.
Via RUU Perkelapasawitan, pemerintah kemudian harus melakukan promosi dan kampanye positif untuk menangkal isu negatif dan upaya mendiskreditkan industri dan/atau produk sawit Indonesia. Jadi, tugas pemerintah pun bertambah untuk mengampanyekan produk sawit Indonesia sebagai produk yang dihasilkan tanpa perampasan lahan, dengan buruh perkebunan sejahtera, tidak ada pembakaran hutan dan lahan gambut dan sebagainya.
Selain itu, perhatian serius pemerintah saat ini adalah bagaimana agar sektor ini dapat dengan mudah berkembang pesat di Indonesia tanpa adanya tekanan dan gangguan dari para pihak yang serius memperhatikan dampak sosial dan lingkungan dari sektor ini.
Oleh karena itu, dengan ini Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sawit Watch, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), dan Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) menyatakan sikap sebagai berikut:
Demikian pernyataan sikap ini kami buat untuk segera diperhatikan dan ditindaklanjuti oleh DPR dan pemerintah.
Jakarta, 23 Juni 2016
TIM ADVOKASI KEADILAN PERKEBUNAN