JAKARTA. Ajang Pekan Nasional Petani Nelayan (PENAS) XIV yang berlangsung 7-12 Juni 2014 di Malang, Jawa Timur akhirnya berakhir. Namun, acara yang dihadiri oleh 35.000 petani dan nelayan dari 35 provinsi, 500 kabupaten-kota, hingga 60 orang perwakilan petani dari ASEAN dan Jepang ini juga meninggalkan cerita miris.
PENAS kali ini yang harapannya bisa menjadi ajang pertemuan bagi petani nelayan untuk saling bertukar informasi, belajar, serta meningkatkan motivasi kepada generasi muda untuk cinta kepada bidang pertanian dan perikanan, malah menjadi tempat para perusahan pertanian transnasional mencari keuntungan, demi menumpuk pundi-pundi keuntungannya. Adalah perusahan besar benih transgenik, pestisida dan herbisida seperti Syngenta, Bayer, Nordox, AHSTI, Nufarm. Mereka memasarkan produknya secara masal dan menganjurkan para petani untuk memakai produk yang mereka hasilkan.
Hal ini tentu saja sangat disayangkan oleh Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih. Menurutnya, PENAS seharusnya menjadi proses demokratis seperti melakukan rembug nasional petani untuk mengidentifikasi, melakukan analisis dan sekaligus menyusun program aksi untuk mengatasi segala ancaman dan hambatan yang dihadapi oleh masyarakat petani.
“PENAS ini seharusnya dari petani oleh petani dan untuk petani, bukan jadi ajang cari keuntungan para perusahaan pertanian transnasional yang hanya memikirkan keuntungannya sendiri,” tegas Henry di Jakarta, kemarin (16/06).
Henry menegaskan, SPI menolak keras campur tangan perusahaan transnasional pertanian dalam pertanian, karena akan menghilangkan kedaulatan petani akan benih dan pupuk.
“Secara halus, petani digiring untuk akhirnya tergantung terhadap produk-produk mereka. Dari sisi produksi, hasil panen yang menggunakan input-input kimia juga tidak sebanding dengan biaya pembelian benih dan pestisida kimia. Padahal pertanian agroekologis yang lebih ramah lingkungan telah terbukti mampu menghasilkan hasil panen yang lebih tinggi, dan mampu melestarikan benih-benih lokal petani,” papar Henry.
Oleh karena itu Henry mempertanyakan motif panitia pelaksana PENAS dan pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian.
“Saya khawatir PENAS ini memang diadakan sebagai ajang untuk “menjual” petani kita kepada perusahaan pertanian transnasional, bahkan dalam acara field trip PENAS kali ini pun, panitia mengajak para peserta berkunjung ke lahan percontohan milik perusahan benih transgenik, pestisida dan pupuk kimia juga. Jika memang iya, kami meminta agar pemerintah mengevaluasi kembali perhelatan ini,” ungkap Henry.
Sebelumnya SPI juga mempertanyakan proses demokrasi dan legitimasi PENAS kali ini. Panitia PENAS tidak melibatkan SPI dan organisasi tani dan nelayan lain melalui proses demokrasi, komunikasi dan koordinasi, sehingga pada akhirnya tidak dilibatkan pada proses selanjutnya dan hanya diposisikan sebagai peserta.
“PENAS 2014 juga ternyata mengundang calon presiden Prabowo Subianto untuk berbicara pada Jumat pagi (06/06). Fakta ini sangat melukai proses demokratisasi di Indonesia terutama untuk petani dan masyarakat pedesaan, terlebih karena PENAS 2014 menggunakan APBN dan APBD yang merupakan dana publik,” tambah Henry.
Kontak lebih lanjut:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668