Perampasan Tanah, Ekonomi Hijau: Tantangan Petani

BUKIT TINGGI. Dalam beberapa tahun belakangan, perampasan tanah (land grabbing) terjadi di banyak negara. Fenomena ini juga menjadi pembahasan banyak kalangan, termasuk sang korban: para petani kecil dan masyarakat adat.

Ekonomi hijau (green economy), salah satu hasil Rio+20 bulan lalu juga diyakini sebagai jalan baru perampasan tanah. Atas nama konservasi alam dan jasa lingkungan untuk perdagangan karbon, terjadi banyak peminggiran terhadap petani dan masyarakat adat dari tanah dan wilayahnya. Lahan dan teritori digunakan oleh negara maupun swasta untuk menjual karbon ke negara-negara polutan.

Kedua hal inilah yang menjadi tantangan terbesar bagi petani di abad ke-21. Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama La Via Campesina, gerakan petani internasional, mengadakan pertemuan internasional mengenai “Pembaruan Agraria di Abad 21”, dengan tema “Mempertahankan Tanah dan Teritori Masyarakat Adat: Peluang dan Tantangan ke Depan.” Bersama puluhan delegasi internasional petani, masyarakat adat dan aktivis tanah dan hak asasi, tantangan-tantangan tersebut diidentifikasi dan berusaha dicarikan solusinya. Pertemuan ini berlangsung di Bukit Tinggi mulai tanggal 10 hingga 14 Juli 2012.

Data terakhir dari landportal menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling besar terkena perampasan lahan. Sekitar 9,5 juta hektar diambil alih oleh investor asing atau lembaga keuangan. Sementara pada level internasional, sekitar 70 juta hektar lahan pertanian telah beralih dari petani ke perusahaan dalam kurun waktu beberapa tahun saja.

“Mayoritas dari tanah ini digunakan untuk proyek semacam food estate atau ekspansi perkebunan,” ujar Henry Saragih, Ketua Umum SPI, di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, tadi pagi (12/07)

SPI telah lama berjuang melawan perampasan lahan ini. Bersama La Via Campesina, SPI adalah salah satu gerakan sosial yang paling pertama mengemukakan adanya peningkatan tren deal lahan sejak tahun 2008.

“Saat itu terjadi pergeseran investasi karena terjadi krisis ekonomi, jadi perusahaan dan lembaga keuangan beralih investasi pada pangan dan lahan pertanian,” kata Henry yang juga Koordinator Umum La Via Campesina.

Dia melanjutkan, “Karena banyak digunakan untuk ekspansi perkebunan, tak jarang perampasan lahan ini mengundang konflik besar antara negara atau swasta versus rakyat—seperti yang terjadi di Mesuji, Lampung dan Merangin, Jambi.”

Sementara di Sumatera Barat, kepemilikan tanah yang secara tradisional dikuasai secara kolektif (adat) telah berubah—dimana hampir 70 persen tanah adat  yang berada di kabupaten Pasaman, Dhamasraya dan Agam sudah dikuasai oleh perkebunan kelapa sawit dan tambang.

Selain model ekstraktif seperti tambang dan perkebunan, saat ini perampasan lahan juga difasilitasi oleh konsep ekonomi hijau. Akumulasi modal dan kerakusan sudah merambah alam dan lingkungan.

“Jasa yang disediakan lingkungan dan bumi pertiwi harus dibayar dan bahkan diperdagangkan,” ujar Reinaldo Chingore, petani dari Mozambik.

Dengan model ini, berhektar-hektar lahan dicaplok untuk proyek REDD atau konservasi dan kemudian dijual dalam mekanisme perdagangan karbon. Pengaplingan lahan ini menghalangi akses dan hak petani serta masyarakat adat terhadap tanah atau teritori mereka.

“Kita tidak lagi bisa mencari penghidupan dari tanah atau hutan warisan nenek moyang,” ujar dia lagi.

“Fakta ini menunjukkan bahwa kapitalisme mulai berubah kulit menjadi seakan-akan hijau, namun tetap hanya menguntungkan segelintir orang saja,” pungkas Reinaldo.

Tak hanya lahan yang terbatas di daratan, lautan pun dikapling-kapling juga. Budi Laksana dari Serikat Nelayan Indonesia (SNI) menyatakan bahwa saat ini juga ada konsep yang bertajuk ekonomi biru (blue economy) yang kira-kira praktiknya sama dengan ekonomi hijau, namun bedanya lautan dan pesisir yang jadi dikomodifikasi.

“Korbannya adalah nelayan kecil dan masyarakat pesisir, seperti pada rencana konsesi area pesisir selama 90 tahun di UU No. 27/2007,” ujarnya.

“Untunglah judicial review UU tersebut berhasil pada tahun 2011 lalu,” kata Budi lagi.

“Namun tantangan kita masih berlanjut pada konservasi seperti inisiatif segitiga karang (coral triangle initiative), yang sering mengkriminalisasi petani dan mengapling lautan,” tutup dia.

Kriminalisasi rakyat kecil, konflik dengan perusahaan nasional maupun transnasional, masalah regulasi (UU), bahkan masalah perang juga dibahas sebagai tantangan petani di abad ke-21.

“Untuk itulah SPI menyarankan kita semua membahas kembali pembaruan agraria di saat ini,” kata Henry Saragih.

“Kita harapkan ide pembaruan agraria seperti yang termaktub di UU Pokok Agraria 1960 bisa kembali menjadi arus utama untuk memulihkan hak rakyat atas tanah dan masyarakat adat atas wilayahnya,” tambah dia.

“Jika rakyat bersatu, tak ada yang tak mungkin,” pungkas Henry.

 

Kontak lebih lanjut:

Henry Saragih, Ketua Umum SPI  dan Koordinator Umum La Via Campesina – 0811655668

Sukardi Bendang, Ketua BPW SPI Sumatera Barat – 085218881352 – 08566129911

Budi Laksana – Sekjen Serikat Nelayan Indonesia (SNI) – 081319716775

ARTIKEL TERKAIT
Pemuda Kota Dukung Penegakan Kedaulatan Pangan Melalui Perta...
Safari Ramadhan DPP SPI 2013 di Semarang Atasi Konflik Agraria, SPI Jawa Tengah Siap Bentuk LBH Peta...
Gelar Muswil II, SPI Jatim Teguhkan Perjuangan
Nilai Tukar Petani Naik dan Deflasi di Bulan Agustus: Lesu, ...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU