JAKARTA. Perberasan tidak boleh dibuka lebar-lebar kepada korporasi. Hal ini diungkapkan Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) dalam acara FGD (focus group discussion) bertemakan “Kebijakan Perberasan Nasional yang Mensejahterakan Petani” di kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI di Jakarta (20/05).
Dalam acara yang diselenggarakan bekerjasama dengan Aliansi Petani Indonesia (API) ini, Henry menyampaikan, kegiatan prioritas Kementerian Pertanian (Kementan) tahun 2016 pada poin satu menerangkan bahwa food estate akan dibangun di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kepulauan Aru. Sedangkan di tahun 2015 ini sudah direncanakan berdiri food estate di Merauke.
“Hal ini menyimpang dari kedaulatan pangan sehingga trisakti dapat berubah menjadi trilogi kemiskinan (kemiskinan, kelaparan, konflik agraria). SPI menolak food estate karena masih menggandeng korporasi yang berbasis keuntungan. Hal ini berarti Kementan tidak percaya dengan petani untuk menyediakan pangan bagi rakyat Indonesia,” jelas Henry.
Hal senada diungkapkan Ketua Departemen Luar Negeri SPI Zainal Arifin Fuad. Ia menggarisbawahi bahwa selain menolak masalah perberasan dibuka kepada korporasi, SPI juga meminta pemerintah agar menutup peluang impor pangan.
“Swasembada beras (pangan) itu bukan dari hasil impor, pemerintah harus upayakan swasembada absolut menuju Indonesia yang berdaulat pangan,” imbuhnya.
Sementara itu, Rivai dari API menyampaikan, secara makro, jika asumsi konsumsi sebesar 114 kilogram per kapita per tahun dikalikan dengan penduduk Indonesia sebesar 255 juta, maka kebutuhan beras hanya sekitar 29 juta ton per tahun.
“Dengan produksi sebesar 35,5 juta ton, maka kita sudah surplus sekitar 5 – 6 juta ton. Pemerintah harus mengembalikan Bulog sebagai stabilitator harga,” ungkapnya.
Perwakilan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan Maino mengutarakan, walaupun Wakil Presiden sudah menyatakan besaran konsumsi beras perkapita pertahun sebesar 114 kg, namun Kementan masih berpatokan pada angka 124,89 kilogram per kapita per tahun.
Sementara itu Dani Setiawan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Komoditas beras menyampaikan Bulog diamputasi untuk kepentingan liberal.
“Bulog haruslah punya otoritas,” katanya.
Menanggapi hal ini, Lely Pelitasari, Direktur Pelayanan Publik Perum Bulog, yang juga turut hadir dalam acara ini menjelaskan, saat ini Bulog tidak dirancang untuk menjadi raksasa, salah satunya diakibatkan konsekuensi dari Undang-Undang Otonomi Daerah.
“Kami dari Bulog meminta gambaran besar kepada pemerintah, namun staf kepresidenan menyerahkan kembali kepada Bulog untuk ditempatkan di posisi mana. Dalihnya adalah Bottom up. Jika dahulu, Bulog bersandar pada Kementerian Koperasi yang sekaligus sebagai Direktur Bulog. Namun hari ini Bulog tidak memiliki sandaran yang kokoh,” paparnya.
perberasan harus di tangan pemerintah……bila ditangan korporasi bisa kestabilan pangan goyah..keamanan dlm negeri terancam..