PADANG. Dunia hari ini dihadapkan dengan persoalan yang sangat serius, krisis ekonomi, pangan, iklim dan krisis energi. Termasuk persoalan penerapan kebijakan model pembangunan baru yang berkembang melalui perampasan lahan skala luas dan lebih dikenal sebagai global land grab (perampasan lahan global).
Land grabbing semacam fenomena global yang dilakukan oleh para elit dan investor di tingkat lokal, nasional, transnasional, dan sejumlah negara yang bertujuan untuk mengendalikan sumberdaya dunia yang paling berharga.
Krisis pangan, iklim, serta finansial global tersebut telah memicu keriuhan di antara para investor dan negara-negara kaya untuk menguasai tanah dan sumberdaya alam di berbagai belahan dunia. Mengingat hal ini adalah “jaminan” yang tersisa untuk mempertahankan keuntungan ekonomi mereka. Bank Dunia maupun lembaga keuangan regional, justru memposisikan diri sebagai fasilitator atas proses perampasan tanah dan air dengan mempromosikan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada investor, serta memfasilitasi modal dan jaminan bagi mereka dengan menyusun model pembangunan ekonomi yang ekstraktif dan berdaya rusak.
Menurut Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), akibat perkembangan globalisasi perusahaan-perusahaan dunia saat ini model perampasan tanah atau land grabbing sudah bukan hanya berdasarkan pada struktur penguasaan Utara-Selatan; perusahaan-perusahaan transnasional ini berbasis di AS, Eropa, Chili, Mexico, Brazil, Rusia, India, Cina, Africa Selatan, Thailand, Malaysia, Indonesia maupun Korea Selatan. Hal ini yang menyebabkan krisis baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.
“Tanah-tanah dirampas di Asia, Afrika, Amerika dan Eropa untuk industri pertanian, HTI, pertambangan, proyek-proyek infrastruktur, bendungan, turisme, taman nasional, industri, perluasan daerah kota maupun untuk kegiatan militer,” kata Henry di kantor Dewan Pengurus Cabang (DPC) SPI Sumatera Barat, di Padang, Selasa (10/7).
Henry yang juga Koordinator Umum La Via CampesinaIa juga menjelaskan atas dasar inilah Serikat Petani Indonesia (SPI) mengadakan workshop dan seminar internasional mengenai “Pembaruan Agraria di Abad 21” sebagai rangkaian peringatan Hari Lahir (Harlah) SPI Ke-14 dari tanggal 10-15 Juli di Bukit Tinggi dan Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Hal tersebut sekaligus untuk menganalisa konteks global, dinamika serta tuntutan di tingkat lokal mengenai krisis agraria hari ini.
“Pertemuan yang dihadiri oleh puluhan petani dari seantero dunia ini diharapkan akan mampu menghasilkan pandangan dan agenda penerapan pembaruan agraria sejati yang mencakup penerapan kedaulatan pangan, agroekologi, perlindungan keanekaragaman hayati dan pengakuan atas peran perempuan dan pemuda dalam pembangunan pertanian,” kata Henry.
Henry juga menyampaikan dari rangkaian peringatan Harlah SPI ke-14 tersebut juga diharapkan menghasilkan pandangan yang tepat atas situasi perjuangan pembaruan agraria di tingkat nasional maupun global. Di usianya yang ke 14 SPI berusaha untuk mendapatkan dan menemukan arah perjuangan yang tepat atas situasi global tentang pembaruan agraria.
“Pandangan umum dan agenda untuk melaksanakan reforma agraria yang mencakup pelaksanaan kedaulatan pangan, agroekologi, keanekaragaman hayati dan kepedulian terhadap nasib petani, inilah yang akan menuntun dan memandu kita dalam mencapai kemenangan sejati,” tambahnya.
Sementara itu, Sukardi Bendang, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Sumatera Barat mengemukakan, Sumatera Barat mempunyai posisi yang tepat untuk mengadakan konfrensi dan seminar internasional, dikarenakan memiliki tatanan agrarian unik yang disebut dengan “Tanah Ulayat”. Tanah ulayat merupakan jaminan sosial bagi seluruh anak nagari, begitulah para pendiri suku bangsa Minangkabau meletakkan fondasi dalam membangun tatanan kehidupan bagi generasi berikutnya, namun perkembangan zaman mengerus tatanan tersebut.
Persoalan lain pun dewasa ini muncul di balik tatanan agraria yang unik itu. Sukardi Bendang juga menyampaikan Sumatera Barat yang dikenal sebagai daerah surplus beras sudah berbanding terbalik dengan kebutuhan beras Sumbar yang didatangkan dari luar. Terbukti Sumatera Barat tidak siap ketika terjadi bencana alam sehingga mendatangkan beras dari luar seperti kejadian bencana gempa 2009 dan banjir 2011.
“Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja, namun tidak terlepas dari rangkaian arah pertanian yang salah arah dan tidak berpihak pada rakyat, yakni pembukaan lahan perkebunan skala besar, kedaulatan pangan ranah minang pun terancam” ungkapnya.
Dia menambahkan bahwa Penguasaan tanah di tingkat rumah tangga petani di Indonesia rata- rata hanya 0,3 hektar. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kurangnya produksi pangan dan tingkat kesejahteraan petani.
“Pelaksanaan pembaruan agraria pun penting untuk menata kembali struktur ketimpangan penguasaan agraria tersebut. Kemudian pendistribusian tanah pada petani, khusus peruntukkannya bagi pembangunan pertanian pangan, sebagai prasyarat utama dalam pembangunan kedaulatan pangan dengan basis keadilan rakyat,” tambahnya.
Kontak lebih lanjut:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811655668
Saya bangga dan terharu atas prakarsa dan perjuangannya mendampingi petani. Selamat Ulang Tahun SPI, sukses selalu