JAKARTA. 17 Desember satu tahun yang lalu, petani di seluruh dunia menyambut hasil keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang secara resmi mengesahkan Deklarasi tentang Hak Asasi Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas – UNDROP). Disahkannya UNDROP sebagai instrumen HAM diputuskan oleh resolusi 73/165 Majelis Umum PBB, yang sudah diadopsi terlebih dahulu oleh Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB di Jenewa pada tanggal 28 September 2018 melalui resolusi A/HRC/RES/39/12. UNDROP merupakan sebuah instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara khusus mengatur tentang pengakuan, pemenuhan dan perlindungan HAM yang melekat pada petani dan seluruh masyarakat yang ada di pedesaan.
Ketua Umum SPI Henry Saragih menyampaikan, UNDROP tidak dapat dipisahkan dari solusi terhadap masalah yang selama ini dihadapi petani di seluruh dunia, yang membuat kehidupannya dan keluarganya jauh dari kata sejahtera.
“Masalah-masalah seperti perampasan lahan, kriminalisasi, perdagangan bebas, kerusakan lingkungan akibat penggunaan agrokimia dan tindakan-tindakan ekstraktif terus menjadi musuh utama bagi para petani. UNDROP diformulasikan berdasarkan kondisi petani yang tertindas karena menghadapi masalah-masalah tersebut, mengidentifikasi hak-hak apa saja yang melekat kepada petani dan mengartikulasikannya ke dalam sebuah teks,” papar Henry di Padang, Sumatera Barat hari ini (19/12).
Henry melanjutkan, pasca satu tahun disahkannya UNDROP, setiap negara dituntut untuk mengadopsinya ke dalam peraturan nasional, terkhusus Indonesia yang identitas aslinya sebagai negara agraris.
“Dengan memiliki jumlah petani yang sangat besar, pengadopsian UNDROP menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Belum lagi, peraturan perundang-undangan Indonesia yang selama ini mengatur tentang kehidupan petani, seperti pertanian, agraria dan pangan sudah cenderung mengacu kepada UNDROP, seperti Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan serta UU Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,” katanya.
“Selain itu juga, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo juga sudah cenderung mengarah ke pasal-pasal yang terkandung di dalam UNDROP. Contohnya seperti redistribusi lahan yang diatur dalam program reforma agraria serta pengimplementasian kedaulatan pangan,” sambungnya.
Henry menambahkan, pentingnya UNDROP untuk segera diadopsi juga mempertimbangkan bahwa UNDROP sendiri lahir berkat perjuangan para petani di Indonesia. Pelanggaran hak dan diskriminasi terhadap petani dan orang-orang yang bekerja di pedesaan memuncak selama masa pemerintahan Orde Baru mendorong kesadaran mengenai pentingnya pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak yang melekat pada petani di tataran organisasi tani maupun LSM pegiat agraria di Indonesia. Upaya untuk membakukan beragam kesadaran dan pandangan hak asasi petani yang berkembang pada saat itu terwujud dalam Konferensi Nasional Pembaharuan Agraria untuk Pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Petani di Cibubur, Jawa Barat pada tanggal 17 hingga 20 April 2001 (selanjutnya disebut dengan Konferensi Cibubur).
“Konferensi ini menjadi wadah bagi Serikat Petani Indonesia (SPI), bersama-sama dengan organisasi masyarakat sipil, LSM dan pegiat agraria di Indonesia untuk menghasilkan bentuk awal dari UNDROP, yakni ‘Deklarasi Hak-Hak Asasi Petani Indonesia’ yang terdiri dari 8 Bagian, dan 67 butir,” tambahnya.
Henry menambahkan, selain memintar agar pemerintah segera mengadopsi UNDROP, pada perayaan satu tahun ini, SPI juga ingin mengajak kepada seluruh petani di Indonesia untuk semakin menggaungkan UNDROP sebagai alas perjuangan petani dalam cita-cita pelaksanaan reforma agraria sejati serta kedaulatan pangan.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668