JAKARTA. “Perjanjian perdagangan bebas(free trade agreement) yang saat ini menjadi tren baru setelah mandeknya negosiasi WTO (World Trade Organization) merugikan petani dan masyarakat produsen kecil lainnya,” tutur Achmad Ya’kub, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) dalam diskusi media bertemakan “CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) Uni Eropa-Indonesia dan Dampaknya terhadap sektor pertanian” di kantor sekretariat Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI di Jakarta, tadi pagi (10/10).
Achmad Ya’kub memberi contoh dengan perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dengan China (ACFTA) yang mulai berlaku pada 2010 lalu yang berimbas terhadap petani bawang dan kentang di dalam negeri.
“Misalnya petani bawang merah SPI di Cirebon yang biasanya menjual hasil produknya sebesar Rp 8.000 – Rp 10.000, sebelum Agustus lalu terpaksa menjual bawangnya dengan harga Rp 3.ooo – 6.000, karena imbas bawang impor, ditambah lagi sejak awal Oktober ini, kentang impor yang juga dari Cina dan Bangladesh juga “berhasil” menghantam produk kentang dalam negeri,” tutur Ya’kub.
Ya’kub menjelaskan bahwa harga kentang Cina dan Bangladesh tersebut dijual di bawah harga kentang lokal, yakni Rp 2.500 per kg. Sedangkan kentang produksi lokal di pasaran biasanya ditawarkan pada kisaran harga Rp 5.500-6.000 per kg.
“Padahal tahun 2006, volume ekspor kentang Indonesia mampu melampaui volume impor kentang sebesar 54.868 ton, namun kemudian volume dan ekspor kentang Indonesia terus menurun. Saat ini hanya produk pangan yang strategis seperti beras, kedelai dan jagung manis yang masih memiliki aturan impor yang cukup ketat, itupun selalu impor dengan berbagai alasan. Walau sempat dibuka hingga nol persen selama beberapa bulan di awal 2011, pemerintah kembali mengembalikan tarif impor beras menjadi Rp 450 per kg per 1 April 2011,” jelas Ya’kub.
Sayangnya tambah Ya’kub, hal ini tidak berlaku bagi komoditas pangan dan pertanian lainnya. Lebih lanjut juga tidak ada standar harga jual dalam negeri, yang menyebabkan produk impor ini bisa dijual jauh dibawah biaya produksi dalam negeri.
Lutfiyah Hanim dari Third World Network yang juga hadir sebagai pembicara menyampaikan hal senada dengan Achmad Ya’kub. Dia menyebutkan bahwa banyak isu-isu yang tidak disepakati di WTO masuk melalui pintu-pintu lain seperti perjanjian perdagangan bebas antar negara ataupun regional.
“Contohnya pada November 2011 mendatang akan diadakan pertemuan KTT ASEAN di Bali sekaligus launching CEPA Uni Eropa-Indonesia, hal ini hanya akan menimbulkan permasalahan dalam kehidupan manusia baik itu kesehatan, pendidikan, layanan publik, perburuhan dan pertanian,” kata Lutfiyah.
Lutfiyah menambahkan bahwa FTA (free trade agreement) atau CEPA memiliki beberapa implikasi buruk bagi Indonesia seperti Indonesia yang terus menjadi pemasok bahan mentah dan sumber daya alam, kenaikan impor, banjir impor produk pertanian yang disubsidi oleh perusahaan partner negara maju (seperti Uni Eropa) yang meminggirkan petani, dan lainnya.