JAKARTA. Dalam minggu ini, Indonesia menjadi tuan rumah ASEAN-EU Business Summit (5 Mei) dan ASEAN SUMMIT pada tanggal 7-8 Mei. Hasil dua pertemuan tersebut menjadi sangat penting di mata kaum Petani karena menyangkut persoalan perdagangan bebas di lingkup ASEAN dengan negara maju.
Pasca gagalnya perundingan WTO tahun 2005 dan 2009, negara – negara maju memang terus mencari celah baru untuk meningkatkan perdagangan mereka dan jalan yang ditempuh diantaranya melalui Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement –FTA) dengan ASEAN.
ASEAN menjadi potensi pasar besar bagi negara-negara maju untuk menjual produksinya. Piagam ASEAN (ASEAN Charter) kemudian menjadi landasan hukum pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas dilingkup ASEAN sendiri yang kemudian dikenal dengan AFTA (ASEAN FTA) tersebut dan Indonesia kemudian meratifikasi Piagam ASEAN tersebut ke dalam Undang-Undang No. 38 tahun 2008. Dua tahun kemudian China ASEAN FTA diberlakukan oleh Pemerintahan Indonesia.
Langkah pemerintah mendandatangani Perjanjian Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) ternyata telah memperburuk tingkat kesejahteraan ekonomi petani dan usaha kecil dan menengah (UKM). Satu tahun lebih perjanjian perdagangaan bebas ASEAN-China telah berlangsung di Indonesia, produk-produk pangan dan non pangan dari China membanjiri pasar dalam negeri.
Tarif bea masuk nol persen yang diberlakukan terhadap produk-produk impor tersebut telah mematikan produk sejenis produksi dalam negeri. Ini tentu saja berimbas pada penyedia produk tersebut terutama sekali petani dan industry kecil dan menengah.
Meningkatnya arus barang dari China ke Indonesia sangat signifikan dalam tiga bulan pertama volume barang China yang dibawa ke Indonesia mencapai 6.567.796 kg. Padahal, kuartal I-2009, barang yang dibawa kargo cuma 3.323.478 kg. Sementara untuk nilai ekspor, barang yang diekspor Indonesia ke China hanya naik tipis.
Ekspor Indonesia ke China hanya didominasi oleh bahan-bahan mentah, terutama sawit. Dari total peluang produksi CPO Indonesia sebesar 21 juta ton, 5 juta ton diserap pasar dalam negeri dan sisanya untuk ekspor. Maka tidak heran pemerintah terus melakukan ekspansi sawit secara besar-besaran di beberapa propinsi.
Akibat dari ekspansi tersebut tentu saja akan semakin meningkatkan konflik agraria karena kasus penyerobotan lahan milik petani oleh perusahaan perkebunan, kerusakan alam dan system monokultur yang akan meningkatkan krisis pangan di Indonesia.
Pasca perjanjian perdagangan bebas dengan China, masih dalam kerangka ASEAN, pemerintah Indonesia juga akan kembali menandatangani FTA dengan Uni Eropa. Bahkan dalam beberapa kesempatan pemerintah telah meminta pengusaha untuk mempersiapkan diri menghadapi perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa tersebut.
Serikat Petani Indonesia (SPI) menolak dengan tegas rencana pemerintah melakukan penandatanganan FTA dengan Uni Eropa. Pemerintah harus belajar dari banyaknya dampak buruk diberlakukannya ACFTA dan menghentikannya bukan malah menambah FTA baru dengan Uni Eropa.
Hasil penelitian SPI tentang potensi dampak ASEAN EU FTA terhadap Petani terkait dengan beberapa produk Indonesia, menunjukkan Indonesia akan mengalami dampak buruk pada hasil pertanian kelapa sawit, perikanan, daging, susu dan cereal. Demikian disampaikan Henry Saragih Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI)
Menurut Henry pemerintah Indonesia telah menjerumuskan ekonomi petani kecil kearah kebangkrutan karena menandatangani berbagai perjanjian perdagangan bebas dengan negara maju.
“FTA ini merupakan kesepakatan perdagangan yang komprehensif tidak hanya menyangkut perdagangan barang tetapi juga investasi jasa dan Haki, melalui FTA akan terjadi liberalisasi secara menyeluruh ini tentu saja lebih buruk dari kesepakatan yang ada di dalam WTO,” tuturnya.
Henry menambahkan pasar dalam negeri kita terus didorong untuk berkompetisi dengan produk-produk dari luar dan ini tidak akan memberikan keuntungan langsung bagi kesejahteraan rakyat di republik ini khususnya lagi petani kecil malah akan menjadi ancaman bagi kedaulatan pangan Indonesia.
“Pemerintah Indonesia harus mengatur dan melindungi pasar dan produksi pangan dalam negeri dari serbuan barang impor akibat FTA. Kebutuhan dalam negeri khususnya pangan seharusnya diproduksi petani kecil dan bukan menggantungkannya dari impor. Selain itu Poduksi pangan harus ditujukan untuk pemenuhan pasar dalam negeri dan bukan untuk eskpor, karena ekspor hanya akan menguntungkan perusahaan multinasional’, tegas Henry.
==================================================================
Kontak:
Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesi, HP: 0811-655-668)