Salam Demokrasi
Selasa, 25 Maret lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membacakan putusan atas permohonan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Namun, dari keseluruhan gugatan, hanya Pasal 22 (tentang insentif hak penguasaan tanah/ HGU, HGB dan Hak Pakai) yang dianulir. Selebihnya, Majelis Hakim menganggap tetap konstitusional.
Gerak Lawan memandang putusan para Hakim Konsitusi tersebut “TIDAK CERMAT.”
Pertama, persoalan perlakuan sama yang tidak membedakan asal negara (Pasal 3) dianggap konstitusional. Padahal, seharusnya arah pembangunan lebih memprioritaskan kepentingan nasional. UUD 1945 secara tegas menyatakan cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat dan sistem perekonomian yang berbasis ekonomi kerakyatan.
Kedua, kekhawatiran berlangsungnya capital flight karena diperbolehkannya pemindahan aset kapan dan di manapun (Pasal 8), dianggap tidak beralasan oleh MK. Padahal, fakta di lapangan jelas-jelas menunjukkan bahwa repatriasi aset berkorelasi langsung dengan kebijakan pemutusan hubungan kerja secara masal.
Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan memberikan dissenting opinion atas putusan MK tersebut, adalah salah satu bukti bahwa putusan MK tidak cermat.
Dan meskipun MK membatalkan pasal 22, bukan berarti liberalisasi sumber-sumber agraria bakal berhenti. Memang, MK menyatakan bahwa persoalan penguasaan atas tanah akan dikembalikan pada UUPA 1960, tetapi dalam prakteknya UUPA 1960 tidak pernah dicabut tetapi tidak pula dijalankan, yang justru berjalan adalah undang-undang sektoral yang mengandung maksud privatisasi yang lebih menguntungkan modal internasional serta justru memperkecil akses rakyat dan alat efektif untuk mengkriminalkan perjuangan massa rakyat seperti Undang-Undang Perkebunan, Kehutanan, Migas, Sumberdaya Air dan lain-lain termasuk RUU Pertanahan.
Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme-Imperialisme (GERAK LAWAN) menyatakan:
Jakarta, 31 Maret 2008